TEORI-TEORI KEDATANGAN ISLAM DI NUSANTARA

Maret 31, 2023

Sejauh menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok: tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok ini jelas belum tuntas, tidak hanya karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada. Terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok, sementara mengabaikan aspek-aspek lainnya. Karena itu, kebanyakan teori yang ada dalam segi-segi tertentu gagal menjelaskan kedatangan Islam, konversi agama yang terjadi, dan proses-proses islamisasi yang terlibat di dalamnya. Bukannya tidak biasa jika suatu teori tertentu tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tandingan yang diajukan teori-teori lain.

Sejumlah sarjana, kebanyakan asal Belanda, memegang teori bahwa asal mula Islam di Nusantara adalah Anak Benua India, bukannya Persia atau Arabia. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel, ahli dari Universitas Leiden.1 Dia mengaitkan asal mula Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang Arab bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.

Teori ini kemudian dikembangkan Snouck Hurgronje yang berhujah, begitu Islam berpijak kukuh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, Muslim Deccan—banyak di antara mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara—datang ke Dunia Melayu-Indonesia sebagai para penyebar Islam pertama. Baru kemudian mereka disusul orang-orang Arab—kebanyakannya keturunan Nabi Muhammad SAW karena menggunakan gelar sayid atau syarîf—yang menyelesaikan penyebaran Islam di Nusantara. Orang-orang Arab ini muncul di Nusantara baik sebagai “pendeta” (priests) maupun sebagai “pendeta-penguasa” (priestprinces) atau sulthân.2Snouck Hurgronje tidak menyebut secara eksplisit dari wilayah mana di India Selatan yang ia pandang sebagai asal Islam di Nusantara. Tetapi ia menyebut abad ke-12 sebagai periode paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara.

Moquette, seorang sarjana Belanda lainnya, berkesimpulan bahwa tempat asal Islam di Nusantara adalah Gujarat.ᆳpulan ini setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera, khususnya yang bertanggal 17 Zulhijah 831 H/27 September 1428 M. Batu nisan yang kelihatannya mirip dengan batu nisan lain yang ditemukan di makam Mawlânâ Mâlik ‘Ibrâhîm (w. 822/1419) di Gresik, Jawa Timur, ternyata sama bentuknya dengan batu nisan yang terdapat di Cambay, Gujarat. Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan, bahwa batu nisan di Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal, tetapi juga untuk diimpor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Nusantara juga mengambil Islam dari sana.

Kesimpulan-kesimpulan Moquette ini ditentang keras oleh Fatimi yang berargumen bahwa keliru mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, termasuk batu nisan Mâlik al-Shâlih dengan batu nisan di Gujarat. Menurut penelitiannya, bentuk dan gaya batu nisan Mâlik al-Shâlih berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lain yang ditemukan di Nusantara. Fatimi berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan ini justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu, seluruh batu nisan itu pastilah didatangkan dari daerah ini. Ini menjadi alasan utamanya untuk menyimpulkan, bahwa asal Islam yang datang ke Nusantara adalah wilayah Bengal. Dalam kaitannya dengan “teori batu nisan” ini, Fatimi mengkritik para ahli yang kelihatannya mengabaikan batu nisan Siti Fatimah (bertahun 475/1082) yang ditemukan di Leran, Jawa Timur.4

Teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Bengal tentu saja bisa dipersoalkan lebih lanjut termasuk, misalnya, berkenaan dengan adanya perbedaan mazhab yang dianut kaum Muslim Nusantara (Syafi’i) dan mazhab yang dipegang kaum Muslim Bengal (Hanafi). Tetapi, terlepas dari masalah ini, teori Fatimi yang dikemukakannya dengan begitu bersemangat gagal meruntuhkan teori Moquette, karena sejumlah sarjana lain telah mengambil alih kesimpulannya; dan yang paling terkenal di antara mereka ini adalah Kern,5 Winstedt,6 Bousquet,7 Vlekke,8 Gonda,9 Schrike,10dan Hall.11Sebagian mereka memberikan argumen tambahan

4 Lihat S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, Singapura: Malaysian Sociological Institute, 1963, 31-32.

5 Baca artikel pendahuluan R.A. Kern dalam F.W. Stepel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, I, Amsterdam: Joos van de Vondel, 1938; dan bukunya, De Islam in Indonesia, Den Haag: 1974, 79.

6 R.O. Winstedt, “A History of Malaysia”, JMBRAS, 13, I (1935), 29.

7 G.H. Bousquet, “Intruduction a l ‘etude de l ‘Islam Indonesien”, lamiques, Cahier, II-III (1938), 160.

8 Lihat B.H.M. Vlekke, Nusantara: History of the East Indian Archipelago, Cambridge, Mass:

Harvard University Press, 1943, 38-9, 52, 70-1.

9J. Gonda, Sanskrit in Indonesia, Nagpur: Internasional Academy of Indian Culture, 1952, 5.

10 Lihat B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, I, Den Haag dan Bandung: Van Hoeve, 1955, khususnya Bab I.

11 D.G.E. Hall, A History of South-East Asia, London: Macmillan, 1964, 190-191.

untuk mendukung kesimpulan Moquette. Wintedt, misalnya, mengemukakan tentang penemuan batu nisan yang mirip bentuk dan gayanya di Bruas, pusat sebuah kerajaan kuno Melayu di Perak, Semenanjung Malaya. Ia berhujah, karena seluruh batu nisan di Bruas, Pasai, dan Gresik didatangkan dari Gujarat, maka Islam juga pastilah diimpor dari sana. Ia juga mencatat, Sejarah Melayu mengandung beberapa bukti yang membenarkan hal ini; antara lain disebutkan kebiasaan di beberapa wilayah di Nusantara mengimpor batu nisan dari Gujarat.12 Schrieke juga menyokong teori ini dengan menekankan signifikansi peran penting yang dimainkan para pedagang Muslim Gujarat dalam perdagangan di Nusantara dan kemungkinan andil besar mereka dalam penyebaran Islam.13

Teori tentang Gujarat sebagai tempat asal Islam di Nusantara terbukti mempunyai kelemahan-kelemahan tertentu. Ini dibuktikan, misalnya, oleh Marrison. Ia berargumen, meski batu-batu nisan yang ditemukan di tempat-tempat tertentu di Nusantara boleh jadi berasal dari Gujarat—atau berasal dari Bengal, seperti dikemukakan Fatimi—itu tidak lantas berarti Islam juga didatangkan dari sana. Marrison mematahkan teori ini dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa pada masa islamisasi Samudera-Pasai, yang raja pertamanya wafat pada 698/1297, Gujarat masih merupakan Kerajaan Hindu. Barulah setahun kemudian (699/1298), Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasaan Muslim. Jika Gujarat adalah pusat Islam, yang dari tempat itu para penyebar Islam datang ke Nusantara, maka Islam pastilah telah mapan dan berkembang di Gujarat sebelum kematian Mâlik al-Shâlih, tegasnya sebelum 698/1297. Marrison selanjutnya mencatat, meski laskar Muslim menyerang Gujarat beberapa kali, masing-masing 415/1024, 574/1178, dan 595/1197, raja Hindu di sana mampu mempertahankan kekuasaannya hingga 698/1297. Mempertimbangkan semua ini, Marrison mengemukakan teorinya bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat, melainkan dibawa para penyebar Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.14

12 Baca, R.O. Winstedt, “The Advent of Muhammadanism in the Malay Paninsula and Archipelago”, JMBRAS, 77 (1917), 171-3.

13 Baca, Schrieke, Indonesian Sociological Studies, I, 12-5, 17.

Teori yang dikemukakan Marrison kelihatan mendukung pendapat yang dipegang Arnold. Menulis jauh sebelum Marrison, Arnold berpendapat bahwa Islam dibawa ke Nusantara antara lain juga dari Coromandel dan Malabar. Ia menyokong teori ini dengan menunjuk kepada persamaan mazhab fikih di antara kedua wilayah tersebut. Mayoritas Muslim di Nusantara adalah pengikut mazhab Syafi’i, yang juga cukup dominan di wilayah Coromandel dan Malabar, seperti disaksikan oleh para ‘Ibn Bathûthah ketika ia mengunjungi kawasan ini. Menurut Arnold, para pedagang dari Coromandel dan Malabar mempunyai peranan penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Sejumlah besar pedagang ini mendatangi pelabuhan-pelabuhan dagang dunia Melayu-Indonesia di mana mereka ternyata tidak hanya terlibat dalam perdagangan, tetapi juga dalam penyebaran Islam.15

Tetapi penting dicatat, menurut Arnold, Coromandel, dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa, tetapi juga di Arabia. Dalam pandangannya, para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abadabad awal Hijri atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah tentang kegiatan mereka dalam penyebaran Islam, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat pula dalam penyebaran Islam kepada penduduk lokal di Nusantara. Asumsi ini menjadi lebih mungkin, kalau orang, misalnya, mempertimbangkan fakta yang disebutkan sumber-sumber Cina, bahwa menjelang akhir perempatan ketiga abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagianorang-orang Arab ini dilaporkan melakukan perkawinan dengan wanita lokal, sehingga membentuk nucleus sebuah komunitas Muslim yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang dan penduduk lokal. Menurut Arnold, anggota-anggota komunitas Muslim ini juga melakukan kegiatan penyebaran Islam.16

14 Lihat G.E. Marrison, “The Coming of Islam to the East Indies”, JMBRAS, 24, I (1951), 31-7.

15 Lihat T.W. Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, London: Constable, 1913, 364-5.

16 Arnold, ibid. Untuk menyokong argumennya, ia mengutip “New History of the Tang Dynasty (608-908)”, yang melaporkan kehadiran pemimpin Arab itu pada tahun 674 M. Bandingkan, W.P. Groeneveldt, “Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources”, VBG, 39 (1880), 13-4.

Dalam kaitan ini, menarik disinggung bahwa kitab ‘Ajâib al-Hind, salah satu sumber Timur Tengah (aslinya berbahasa Persia) paling awal tentang Nusantara, mengisyaratkan tentang eksistensi komunitas Muslim lokal di wilayah Kerajaan Hindu-Buddha Zabaj (Sriwijaya). Kitab yang ditulis Buzurg bin Shahriyar al-Ramhurmuzi sekitar tahun 390/1000 ini meriwayatkan tentang kunjungan para pedagang Muslim ke Kerajaan Zabaj. Para pedagang Muslim ini menyaksikan kebiasaan di kerajaan itu, bahwa setiap orang Muslim—baik pendatang maupun penduduk lokal—yang ingin menghadap raja harus “bersila” Kata “bersila” yang digunakan kitab ‘Ajâ’ib al-Hind pastilah salah satu di antara sedikit kata Melayu yang pernah digunakan dalam teks Timur Tengah. Terlepas dari soal bahasa ini, kewajiban bersila yang disebutkan juga berlaku bagi penduduk Muslim lokal, mengisyaratkan telah terdapatnya sejumlah penganut Islam dari kalangan penduduk asli Kerajaan Zabaj.17 Sayang teks ini tidak memberi informasi tentang apakah penduduk asli ini diislamkan oleh para pedagang Arab tersebut. Yang jelas, kebiasaan bersila tersebut kemudian dihapuskan oleh Raja Sriwijaya setelah pedagang Oman memprotes bahwa tradisi itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Teori bahwa Islam juga dibawa langsung dari Arabia dipegang pula oleh Crawfurd, walaupun ia menyarankan bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum Muslim yang berasal dari pantai timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara itu, Keijzer memandang Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar pertimbangan kesamaan kepemelukan penduduk Muslim di kedua wilayah kepada mazhab Syafi’i. “Teori Arab” ini juga dipegang oleh Niemann dan de Hollander dengan sedikit revisi; mereka memandang bukan Mesir sebagai sumber Islam di Nusantara, melainkan Hadhramawt.18 Sebagian ahli Indonesia setuju dengan “teori Arab” ini. Dalam seminar yang diselenggarakan pada 1969 dan 1978 tentang kedatangan Islam ke Indonesia mereka menyimpulkan, Islam datang langsung dari Arabia, tidak dari India; tidak pada abad ke-12 atau ke-13 melainkan dalam abad pertama Hijri atau abad ke-7 Masehi.19

Di antara pembela tergigih “teori Arab” atau, sebaliknya, penentang terkeras “teori India” adalah Naguib al-Attas. Seperti Marrison, ia juga tidak bisa menerima penemuan epigrafis yang disodorkan Moquette sebagai bukti langsung bahwa Islam dibawa dari Gujarat ke Pasai dan Gresik oleh Muslim India. Ia berpendapat, batu-batu nisan itu dibawa dari India semata-mata karena jaraknya yang lebih dekat dibandingkan dengan Arabia. Ia memandang, bukti paling penting yang perlu dikaji ketika membahas kedatangan Islam ke Nusantara adalah karakteristik internal Islam di Dunia Melayu-Indonesia itu sendiri.20 Ia mengajukan apa yang disebutnya “teori umum tentang islamisasi Nusantara”, yang harus didasarkan terutama pada sejarah literatur Islam Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan-dunia Melayu seperti terlihat dalam perubahan konsep-konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur Melayu-Indonesia pada abad ke-10-11/16-17.21

17 Untuk teks lengkap berbahasa Arab, lihat P.A. van der Lith, KitabAjayib al-Hind: Livre des Marveilles de l ‘Inde, terj. Perancis L. Marcel Devic, Leiden: Brill, 1883-6, 154. Lihat glosari, 25 dan ekskursi B, “L ‘Archipel Indien”, khususnya 231-3. Untuk terj. Bahasa Inggris teks ini, lihat P. Quennel, The Books of the Marvels of Indie, London: Routledge, 1928; G.S.P. Freeman-Grenville, The Books of the Wonders of India, Mainland, Sea, and Island, London & Den Haag: 1981.

18 Lihat, Drewes, “New Light”, 439.

19 Lihat A. Hasjmi (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: al-Ma’rif, 1989, khususnya h. 7.

20 Lihat S.M.N. al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1972, 33-4. Cetakan keempat buku ini diterbitkan oleh Penerbit Mizan, Bandung, 1990.

Demikianlah, setelah mempertimbangkan perubahan-perubahan utama dalam pandangan dunia rakyat di Nusantara yang disebabkan kedatangan Islam, al-Attas menyimpulkan, sebelum abad ke-17 seluruh literatur keagamaan Islam yang relevan tidak mencatat satu pengarang Muslim India, atau karya yang berasal dari India. Pengarang-pengarang yang dipandang kebanyakan sarjana Barat sebagai berasal dari Arab atau Persia, dan bahkan apa yang disebut sebagai berasal dari Persia pada akhirnya berasal dari Arab, baik secara etnis maupun kultural. Nama-nama dan gelar-gelar para pembawa pertama Islam ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Arab atau Arab-Persia. Al-Attas selanjutnya menandaskan:Benar bahwa sebagian karya itu ditulis di India, tetapi asal mulanya adalah Arab atau Persia; atau karya-karya itu—sebagian kecilnya—berasal dari Turki atau Maghrib; dan apa yang lebih penting, kandungan keagamaannya adalah Timur Tengah, bukan India.22

Terlepas dari masalah-masalah yang ada dalam argumen al-Attas ini, yang jelas, ia sangat menekankan bahwa Islam di Nusantara berasal langsung dari Arab. Argumennya ini selaras dengan apa yang diceritakan oleh historiografi lokal tentang islamisasi di dunia mereka. Meski historiografi lokal ini sering bercampur dengan mitos dan legenda,23

21 S.M.N. al-Attas, Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969, 1.

22 Al-Attas, Preliminary, 25.

23 Dalam beberapa kasus, sumber-sumber lokal menekankan pentingnya mimpi (Arab: ru’yah) dalam proses konversi kepada Islam. Untuk pembahasan tentang peranan mimpi dalam masyarakat Muslim, lihat G.E. von Grunebaum & Roger Caillos, ᆳmam Societies, Los Angeles & Berkeley: University of California Press, 1966. Mimpi juga penting dalam membawa kaum Muslim ke dalam sufisme. Sejumlah contoh tentang hal ini dapat ditemukan dalam A.J. Arberry, Muslim Saints and Mystics, London: Routledge & Kegal Paul, 1966, 40, 81, 93, 98, 179, 180, 203, 220, 247, 254, 260. Bandingkan J.S. Trimingham, The Sufi Orders in Islam, London: Oxford University Press, 1973, 1589 tentang ru’yah. Terdapat pembahasan menarik tentang pentingnya dongeng dan mitos historis sebagai sumber informasi tentang sejarah wilayah tertentu. Lihat, Jan Vansina, Oral Tradition: A Study in Historical Methodhology, Chicago: Aldine, 1965, khususnya h. 154-7. Ia menegaskan, seluruh dongeng dan mitos merupakan tradisi resmi masyarakat-masyarakat tertentu untuk merekam sejarah mereka. Cerita-cerita ini disampaikan oleh para spesialis pada kesempatan resmi dan mentransmisikannya di dalam kelompok sosial tertentu. Menurut dia, setiap jenis dongeng dan mitos mempunyai nilainya sendiri. Dongeng historis berguna sebagai sumber informasi tentang sejarah militer, politik, kelembagaan, dan hukum. Adapun dongeng didaktik memberikan informasi tentang nilai-nilai kultural, sementara mitos didaktik merupakan sumber yang amat berguna untuk sejarah agama

Menurut Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis setelah 1350),24 seorang Syekh ‘Ismâ’îl datang dengan kapal dari Mekkah viaᆳsai—di sini ia membuat Merah Silau, penguasa setempat, masuk Islam. Merah Silau kemudian mengambil gelar Mâlik al-Shâlih yang, seperti dicatat terdahulu, wafat pada 698/1297. Seabad kemudian, sekitar 817/1414, menurut Sejarah Melayu (ditulis setelah 1500), penguasa Malaka juga diislamkan oleh Sayid ‘Abd al-‘Azîz, seorang Arab dari Jeddah.25 Begitu masuk Islam, penguasa itu, Parameswara, mengambil nama dan gelar Sultan Muhammad Syah. Historiografi Melayu lainnya, Hikayat Merong Mahawangsa (ditulis setelah 1630),26 meriwayatkan bahwa seorang Syekh ‘Abd Allâh al-Yamânî datang dari Mekkah (atau Baghdad?) ke Nusantara dan mengislamkan penguasa setempat (Phra Ong Mahawangsa), para menterinya dan penduduk Keddah. Penguasa ini setelah masuk Islam menggunakan gelar dan nama Sultan Muzhaffar Syah. Sementara itu, sebuah historiografi dari Aceh memberikan informasi bahwa nenek moyang para sultan Aceh adalah seorang Arab bernama Syekh Jamâl al-‘Alam, yang dikirim Sultan Utsmani untuk mengislamkan penduduk Aceh.27 Sebuah riwayat Aceh lainnya menyatakan, bahwa Islam diperkenalkan ke kawasan Aceh oleh seorang

.

24 Lihat, A.H. Hill (peny.), “Hikayat Raja-Raja Pasai”, JMBRAS, 33 (1960), 58-60. Lihat pula, Russel Jones, “Ten Conversion Myths From Indonesia”, dalam N. Levtzion (peny.), sion to Islam, New York: Holmes & Meier, 1979, 136-7.

25 C.C. Brown (penerj.), Sejarah Melayu or Malay Annals, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1970, 43-4. Bandingkan Jones, “Ten Conversion Myths”, 136-7.

26 Siti Hawa Saleh, Hikayat Merong Mahawangsa, Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970, khususnya Bab 4, 5, 85-127. Bandingkan Jones, “Ten Conversion Myths”, 138-42.

27 R.H. Djajadiningrat, Kesultanan Aceh, terj. T. Hamid, Banda Aceh: Departemen P & K, 1982/3, 12.

Arab bernama Syekh ‘Abd Allâh ‘Ârif sekitar 506/1111.28

Tarsilah (silsilah) raja-raja Muslim dari Kesultanan Sulu di Filipina meriwayatkan cerita senada. Menurut sebuah tarsilah, Islam disebarkan di wilayah ini pada paruh kedua abad ke-8/14 oleh seorang Arab bernama Syarîf Awliyâ’ Karîm al-Makhdûm, yang datang dari Malaka pada 782/1380. Silsilah Sulu mengklaim, ia adalah ayah dari Mawlânâ Mâlik ‘Ibrâhîm, salah seorang di antara “wali sanga” yang dipercayai mengislamkan Pulau Jawa. Setelah itu, datang pula seorang Arab bernama ‘Amîn Allâh al-Makhdûm, yang juga dikenal dengan gelar Sayid a-Niqâb. Ia dipercayai datang ke wilayah ini bersama sejumlah Cina Muslim. Gelombang islamisasi selanjutnya di Sulu, khususnya di pedalaman, terjadi ketika seorang Arab bernama Sayid ‘Abû Bakr datang ke wilayah ini. Seluruh tarsilah yang ada bersepakat bahwa ia dijadikan sultan pertama Kesultanan Sulu dengan gelar Syarîf al-Hâsyim. Dua orang Arab lainnya yang juga berperan besar dalam penyebaran Islam di kawasan ini disebut bernama “Mohadum” dan ‘Alawi al-Bapaki. Keduanya dikatakan sebagai saudara Sayid ‘Abû Bakr.29 Hunt, seorang pengembara Barat di Sulu pada masa itu, menulis bahwa “Seorang sufi lain datang dari Mekkah, bernama Sayed Barpaki, berhasil memasukkan hampir seluruh penduduk ke dalam islamisme.”30

Kebanyakan sarjana bersepakat, bahwa di antara para penyebar pertama Islam di Jawa adalah Mawlânâ Mâlik ‘Ibrâhîm, yang namanya sudah disebut di atas. Ia dilaporkan mengislamkan kebanyakan wilayah pesisir utara Jawa, dan bahkan beberapa kali mencoba membujuk Raja Hindu-Buddha Majapahit, Vikramavarddhana (berkuasa 788833/1386-1429) agar masuk Islam.31 Tetapi kelihatannya, hanya setelah kedatangan Raden Rahmat, putra seorang dâ’î Arab di Campa, Islam memperoleh momentum di Istana Majapahit. Ia digambarkan mempunyai peran menentukan dalam islamisasi Pulau Jawa dan karenanya, dipandang sebagai pemimpin wali sanga dengan gelar Sunan Ampel. Adalah di Ampel ia mendirikan sebuah pusat keilmuan Islam. Pada saat keruntuhan Majapahit, terdapat seorang Arab lain, Syekh Nûr al-Dîn ‘Ibrâhîm binti Mawlânâ ‘Izrâ’îl, yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati. Ia belakangan memapankan diri di Kesultanan Cirebon. Seorang sayid terkenal lain di Jawa adalah Mawlânâ ‘Ishâq yang dikirim Sultan Pasai untuk mencoba mengajak penduduk Blambangan, Jawa Timur, masuk Islam.32

28 Ibid.

29 Informasi tentang proses islamisasi di Filipina ini didasarkan pada C.A. Majul, Muslims in the Philippines, edisi kedua, Quezon City: The University of the Philippines Press, 1979, khususnya h. 51-72.

30 J. Hunt Esq., “Some Particulars Relating to Sulu in the Archipelago of Felicia”, dalam J.H. Moors, Notices of the Indian Archipelago and Adjacent Contries, Singapura: 1837, 33.

31 Winstedt, “The Advent”, 175. Bandingkan al-Attas, Preliminary, 12-3.

Mempertimbangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan historiografi klasik ini, maka kita bisa mengambil empat tema pokok. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia; Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyair “profesional”—yakni mereka yang memang khusus bermaksud menyebarkan Islam; Ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa; dan Keempat, kebanyakan para penyebar Islam “profesional” ini datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Mempertimbangkan tema terakhir ini, seperti dibahas di depan, mung-kin benar bahwa Islam sudah diperkenalkan ke dan ada di Nusantara pada abad-abad pertama Hijri, sebagaimana dikemukakan Arnold dan dipegangi banyak sarjana Indonesia-Malaysia, tetapi hanyalah setelah abad ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Karena itu, proses islamisasi tampaknya mengalami akselarasi antara abad ke-12 dan ke-16.

Telah dikemukakan pula di depan, kebanyakan sarjana Barat memegang teori bahwa para penyebar pertama Islam di Nusantara adalah para pedagang Muslim yang menyebarkan Islam sembari melakukan perdagangan di wilayah ini, maka nucleus komunitas-komunitas Muslim pun tercipta, yang pada gilirannya memainkan andil besar dalam penyebaran Islam. Selanjutnya dikatakan, sebagian pedagang ini melakukan perkawinan dengan keluarga bangsawan lokal sehingga memungkinkan mereka atau keturunan mereka pada akhirnya mencapai kekuasaan politik yang dapat digunakan untuk penyebaran Islam.

32 Winstedt, “The Advent”, 175; al-Attas, Preliminary, 13.

Dalam kerangka ini, van Leur percaya bahwa motif ekonomi dan politik sangat penting dalam masuk Islamnya penduduk Nusantara. Dalam pendapatnya, para penguasa pribumi yang ingin meningkatkan kegiatan-kegiatan perdagangan di wilayah kekuasaan mereka menerima Islam. Dengan begitu mereka mendapatkan dukungan para pedagang Muslim yang menguasai sumber-sumber ekonomi. Sebaliknya, para penguasa memberi perlindungan dan konsesi-konsesi dagang kepada para pedagang Muslim. Dengan konversi mereka kepada Islam, para penguasa pribumi Nusantara dapat berpartisipasi secara lebih ekstensif dan menguntungkan dalam perdagangan internasional yang mencakup wilayah sejak dari Laut Merah ke Laut Cina. Lebih jauh, dengan masuk Islam dan mendapat dukungan para pedagang Muslim, para penguasa itu dapat mengabsahkan dan memperkuat kekuasaan mereka, sehingga mampu menangkis jaring-jaring kekuasaan Majapahit.33

Teori ini jelas bertentangan dengan riwayat yang disampaikan historiografi klasik tadi. Teori meletakkan terlalu banyak tekanan pada motif-motif ekonomi dan sekaligus peran para pedagang. Di sini penting mengemukakan hujah Johns: sulit memercayai bahwa para pedagang Muslim ini juga berfungsi sebagai para penyebar Islam.34 Jika benar mereka juga bertindak sebagai penyiar Islam, maka cukup diragukan apakah jumlah penduduk yang berhasil mereka Islamkan cukup besar dan signifikan. Lebih jauh lagi—dan ini argumen terpenting—jika memang mereka sangat aktif dalam penyiaran Islam, mengapa Islam kelihatan nyata sebelum abad ke-12. Padahal para pedagang Muslim ini sudah berada di Nusantara sejak abad-abad ke-7 dan ke-8. Dengan kata lain, meski para penduduk pribumi telah bertemu dan berinteraksi dengan para pedagang Muslim sejak abad ke-7, tidak terdapat bukti tentang terdapatnya penduduk Muslim lokal dalam jumlah besar atau tentang terjadinya islamisasi substansial di Nusantara.

33 Lihat, J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society, Den Haag: Van Hoeve, 1955, 72, 110-6.

34 A.H. Johns, “Muslim Mystics and Historical Writings”, dalam D.G.E. Hall (peny.), Historians of South East Asia, London: Oxford University Press, 1961, 40-1. Bandingkan Fatimi, Islam Comes, 90-1.

Schrieke juga membahas tentang motif penyebaran Islam di kalangan rakyat di Nusantara. Ia tidak percaya bahwa perkawinan antara para pedagang dengan para keluarga bangsawan menghasilkan konversi kepada Islam dalam jumlah besar. Ia menolak pula bahwa kaum pribumi pada umumnya termotivasi masuk Islam karena penguasa mereka telah memeluk agama ini. Dalam pendapatnya adalah ancaman Kristen yang mendorong penduduk Nusantara untuk masuk Islam dalam jumlah besar. Jadi, menurut dia, penyebaran dan ekspansi luar biasa Islam merupakan hasil dari semacam pertarungan antara Islam dan Kristen untuk mendapatkan penganut-penganut baru di kawasan ini. Schrieke mendasarkan teorinya ini dengan melihat apa yang dipandangnya sebagai konfrontasi antara Islam dan Kristen di Timur Tengah dan Semenanjung Iberia. Menurut dia, penyebaran Islam secara besar-besaran di Nusantara terjadi ketika pertarungan tengah berlangsung antara Portugis melawan para pedagang dan penguasa-penguasa Muslim di Arabia, Persia, India, dan Nusantara. Ia menyimpulkan, penyebaran Islam dipandang sebagai kekuatan tandingan terhadap gospel Kristen yang agresif.35 Tetapi argumen Schrieke ini sulit diterima. Karena apa yang disebutnya “pertarungan antara Islam dan Kristen” di Nusantara paling mungkin terjadi hanya setelah tahun 1500 ketika orang-orang Eropa mulai datang ke Nusantara, tidak pada abad ke-12 atau ke-13, ketika berlangsungnya islamisasi besar-besaran di Nusantara.

35 Schrieke, Indonesian Sociological Studies, II, 232-7.

Teori yang lebih masuk akal dengan tingkat aplikabilitas lebih luas dibandingkan semua teori di atas disajikan oleh A.H. John. Dengan mempertimbangkan kecilnya kemungkinan bahwa para pedagang memainkan peran terpenting dalam penyebaran Islam, ia mengajukan bahwa adalah para sufi pengembara yang terutama melakukan penyiaran Islam di kawasan ini. Para sufi ini berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara setidaknya sejak abad ke-13. Faktor utama keberhasilan konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal. Dengan menggunakan tasawuf sebagai sebuah kategori dalam literatur dan sejarah Melayu-Indonesia, Johns memeriksa sejumlah sejarah lokal untuk memperkuat hujahnya.36

36 A.H. Johns, “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History”, JSEAH, 2, II (1961), 10-23. 37 Ibid., 15.

Menurut Johns, banyak sumber lokal mengaitkan pengenalan Islam ke kawasan ini dengan guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi yang kental. Karakteristik lebih terperinci mereka ini adalah sebagai berikut:

Mereka adalah para penyiar (Islam) pengembara yang berkelana diseluruh dunia yang mereka kenal, yang secara sukarela hidup dalam kemiskinan; mereka sering berkaitan dengan kelompok-kelompok dagangatau kerajinan tangan, sesuai dengan tarekat yang mereka anut; mereka mengajarkan teosofi sinkretik yang kompleks, yang umumnya dikenal baik orang-orang Indonesia, yang mereka tempatkan ke bawah (ajaran Islam), (atau) yang merupakan pengembangan dari dogma-dogmapokok Islam; mereka menguasai ilmu magis, dan memiliki kekuatan yang menyembuhkan; mereka siap memelihara kontinuitas dengan masasilam, dan menggunakan istilah-istilah dan unsur-unsur kebudayaan pra-Islam dalam konteks Islam.37

Jadi, berkat otoritas karismatik dan kekuatan magis mereka, sebagian guru sufi dapat mengawini putri-putri bangsawan dan karena itu, memberikan kepada anak-anak mereka gengsi darah bangsawan dan sekaligus aura keilahian atau karisma keagamaan. Hasilnya, kesimpulan Johns, Islam tidak dapat dan tidak menancapkan akarnya di kalangan penduduk negara-negara Nusantara atau mengislamkan para penguasa

mereka sampai Islam disiarkan para sufi, dan ini tidak merupakan gambaran dominan perkembangan Islam di Nusantara sampai abad ke-13.38 Teori sufi ini disokong oleh Fatimi, misalnya, yang memberikan argumen tambahan. Ia, antara lain, menunjuk kepada sukses yang sama dari kaum sufi dalam mengislamkan jumlah besar penduduk Anak Benua India pada periode yang sama.39

Persoalannya kemudian, kenapa gelombang sufi pengembara ini baru aktif sejak abad ke-13? Johns berhujah, tarekat sufi tidak menjadi ciri cukup dominan dalam perkembangan Dunia Muslim sampai jatuhnya Baghdad ke tangan laskar Mongol pada 656/1258. Mengutip Gibb, ia mencatat bahwa setelah kejatuhan kekhalifahan Baghdad, kaum sufi memainkan peran kian penting dalam memelihara keutuhan Dunia Muslim dengan menghadapi tantangan kecenderungan pengepingan kawasan-kawasan kekhalifahan ke dalam wilayah-wilayah linguistik Arab, Persia, dan Turki. Adalah pada masa-masa ini tarekat sufi secara bertahap menjadi institusi yang stabil dan disiplin, dan mengembangkan afiliasi dengan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan (thawâ’if), yang turut membentuk masyarakat urban.40

Afiliasi ini memungkinkan para guru dan murid sufi memperoleh sarana pendukung untuk melakukan perjalanan dari pusat-pusat Dunia Muslim ke wilayah-wilayah periferi, membawa keimanan dan ajaran Islam melintasi berbagai batas bahasa dan, dengan demikian, mempercepat proses ekspansi Islam. Dengan latar belakang semacam inilah, maka sumber-sumber lokal yang disebut dan dikutip terdahulu memberi informasi tentang kedatangan syekh, sayid, makhdûm, guru, dan semacamnya dari Timur Tengah atau tempat-tempat lain ke wilayah-wilayah mereka.

38 Ibid., 14.

39 Lihat, Fatimi, Islam Comes, 94-8.

40 Johns, “Sufism as a Category”, 15. Lihat pula, H.A.R. Gibb, “An Interpretation of Islamic History II”, MW, 45, II (1955), 130.

Teori “sufi” ini berhasil membuat korelasi antara peristiwa-peristiwa politik dan gelombang-gelombang konversi kepada Islam. Meski peristiwa-peristiwa politik—dalam hal ini Kekhalifahan Abbasiyah—merefleksikan hanya secara tidak langsung pertumbuhan massal masyarakat Muslim, orang tak dapat mengabaikan mereka, karena semua itu memengaruhi perjalanan masyarakat Muslim di bagian-bagian lain Dunia Muslim. Teori ini juga berhasil membuat korelasi penting antara konversi dengan pembentukan dan perkembangan institusi-institusi Islam yang menurut Bulliet, akhirnya membentuk dan menciptakan ciri khas masyarakat tertentu sehingga ia benar-benar dapat disebut sebagai masyarakat Muslim. Yang terpenting di antara institusi-institusi ini adalah madrasah, tarekat sufi, futuwwah (persatuan pemuda), dan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan. Semua institusi ini menjadi penting hanyalah sejak abad ke-11.41

Periode konsolidasi yang diberikan Bulliet kelihatan sedikit lebih awal dibandingkan dengan yang dikemukakan Johns. Tetapi, riwayat lengkapnya dapat dijelaskan lebih baik dengan sekali lagi melihat kepada peristiwa-peristiwa politik yang terjadi dalam abad-abad ini. Tidak ada persoalan, bahwa pada abad ke-11 kekhalifahan Abbasiyah dengan cepat merosot. Kemerosotan kekuasaan politik ini khususnya mendorong munculnya lembaga-lembaga dan struktur-struktur nonpolitik untuk mengisi kevakuman dalam struktur dan kepemimpinan politik. Karena itu, menjelang abad ke-12 berbagai perkumpulan sosial, keagamaan dan ekonomi—seperti disebutkan tadi, muncul dan berkembang lebih cepat. Lebih jauh adalah pada masa-masa ini atau menjelang akhir abad ke-12 padamnya konflik faksional endemik yang memecah belah go-longan Sunni sejak abad ke-10. Konsekuensi perkembangan ini adalah kebangkitan ulama sebagai kelompok sosial khas, yang semakin sadar terhadap peran krusial mereka dalam memelihara dan memperluas ranah pengaruh Islam.42

41 Lihat, R.W. Bulliet, “Conversion to Islam and the Emergence of a Muslim Society in Iran”, dalam Levtzion (peny.), Conversion to Islam, 36.

42 Lihat, Azyumardi Azra, “The Study of the ‘Ulama’: A Preliminary Research”, thesis M.A.,

PETA 1. PENYEBARAN ISLAM DI NUSANTARA

Situasi politik yang tak menguntungkan itu, lebih jauh lagi, mendorong banyak Muslim—termasuk ulama dan sufi—di wilayah-wilayah tertentu yang dikuasai langsung Dinasti Abbasiyah untuk berpindah khususnya ke wilayah-wilayah yang baru diislamkan. Menjelang akhir abad ke-11, bagian barat Baghdad, misalnya, kehilangan banyak penduduknya. Eksodus ini bahkan lebih mencolok di Persia. Dalam periode yang sama, Persia kehilangan banyak ulama Sunni. Inilah salah satu faktor utama yang mendorong pertumbuhan golongan Syi’ah di Persia. Sebaliknya, banyak ulama yang keluar dari Persia dapat ditemukan di banyak wilayah Dunia Muslim. Migrasi dalam jumlah besar ini turut mempercepat konversi orang-orang dalam jumlah besar kepada Islam di Anak Benua India, Eropa Timur dan Tenggara, dan Nusantara pada periode antara paruh kedua abad ke-10 dan akhir abad ke-13. Seluruh proses mempunyai andil terhadap kebangkitan yang oleh Hodgson disebut sebagai “internasionalisasi” (“universalisasi”) Islam Sunni.43 Memandang dari perspektif lebih luas ini, orang akan lebih memahami proses konversi dan islamisasi Nusantara. Jelas, terdapat sejumlah faktor yang berkaitan satu sama lain, yang memengaruhi seluruh proses yang ada. Tetapi, terlepas dari kompleksitas proses konversi dan islamisasi Nusantara itu, wilayah ini merupakan contoh yang cukup unik dari transformasi besar keagamaan antara mayoritas penduduknya