TEORI SOSIOLOGI LANSIA

Juli 11, 2022

Perspektif Fungsionalis

Dalam perspektif fungsionalis berkembang paling tidak enam teori sosiologi lansia, yaitu teori penarikan diri, teori aktivitas, teori kontinuitas, teori peran sosial, teori stratifikasi usia, dan teori modernisasi.

a. Teori Penarikan Diri

Teori penarikan diri (disengagement theory) menganalisis tentang bagaimana masyarakat mengantisipasi masalah yang muncul ketika lansia meninggalkan posisi, tugas, fungsi, dan tanggung jawab mereka. Adapun gagasan teoretis yang mendasarinya adalah bahwa lansia, karena kemunduran yang tak terhindarkan seiring bertambahnya usia, menjadi semakin aktif dengan dunia luar dan semakin sibuk dengan kehidupan batin mereka. Penarikan diri ber­guna bagi masyarakat karena mendorong pemindahan  kekuasaan yang teratur dari orang yang lebih tua ke yang lebih muda.

Teori penarikan diri diteroka oleh Elaine Cumming dan William Henry melalui buku mereka berjudul Growing Old, the Pro cess of Disengagement. Pensiun atau penarikan diri merupakan fung­sional bagi masyarakat karena ia memiliki fungsi positif bagi ke­berlangsungan masyarakat melalui alih generasi terhadap posisi, tugas, dan tanggung jawab terhadap suatu pekerjaan. Manakala lansia memasuki usia pensiun, maka generasi baru sudah disiap­kan untuk menerima posisi, tugas, dan tanggung jawab dari lansia. Sehingga generasi baru tersebut memiliki kompetensi, kapabilitas, dan keahlian yang diisyaratkan oleh posisi, tugas, fungsi, dan tang­gung jawab yang akan mereka emban.

Teori penarikan diri merupakan teori sosiologi lansia yang berakar dari perspektif fungsionalis. Teori ini dikritik karena dalam kenyataannya lansia tidak menarik diri dalam peran sosial produktif dan membenamkan diri dalam ketiadaan, melainkan menggantikan peran­peran lama menjadi peran baru yang lebih bersifat spiritual, humanis, dan karitas.

b.  Teori Aktivitas

Teori aktivitas (activity theory) dibangun atas asumsi: satu, bahwa lansia yang aktif lebih terpuaskan dan lebih baik penyesuaian dirinya dibandingkan daripada mereka yang tidak aktif; dua, konsep diri lansia divalidasi melalui partisipasi dalam peran yang memiliki karakteristik usia dewasa, dan lansia karenanya harus mengganti peran yang hilang dengan yang baru untuk mempertahankan posisi mereka di tengah masyarakat. Jadi, teori ak tivitas, dikembangkan oleh Robert Havighurst, mengalkulasi berapa banyak aktivitas para lansia dalam berbagai dimensi: kegiatan­kegiatan formal versus informal, sendiri versus secara bersama, dan sebagainya. Serta berapa derajat kepuasan dari berbagai kegiatan yang dilakukan mereka (Bcngtson dan Haber, 1975).

Teori aktivitas dikritik karena tidak selalu para pensiun yang terlalu aktif merasa sangat puas dengan hal tersebut. Juga tidak selalu kegiatan informal yang dilakukan secara bersama lebih me­muaskan dibandingkan dengan aktivitas formal. Tergantung dengan konteks dan habitus dari suatu komunitas.

Teori aktivitas ini, seperti juga teori penarikan diri, berakar dari perspektif fungsional. Karena teori ini menegaskan perlunya pemenuhan persyaratan fungsional berupa penggantian aktivitas lama ke dalam aktivitas baru sehingga masyarakat akan fungsional.

c. Teori Kontinuitas

Teori kontinuitas (continuity theory) memiliki asumsi dasar bahwa ciri kepribadian sentral menjadi lebih jelas dengan usia atau dipertahankan melalui kehidupan yang sedikit terjadi peru­bahan. Lansia berhasil jika mereka mempertahankan peran yang mereka sukai dan teknik adaptasi sepanjang hidup.

Teori kontinuitas, oleh karena itu, merupakan teori tentang bagaimana keberlanjutan perjalanan hidup manusia melalui adap­tasi mereka dengan penuaan. Mereka beradapasi dengan  penuaan dengan melanjutkan sebagian peran yang mereka miliki, karena mereka memiliki peran majemuk, seperti sebagai guru, ibu, anggota arisan kompleks perumahan, pengurus ikatan kekeluar gaan dari suatu etnik, misalnya. Menurut Henslin (2008; 73) mereka yang memiliki peran majemuk dan sumber daya yang banyak memiliki adaptasi yang tinggi terhadap proses penuaan. Hal itu bisa dipahami ketika orang yang memiliki peran majemuk, ketika suatu peran hilang, misalnya peran guru pada permisalan, maka peran lain bisa menutupi keberlanjutan perjalanan hidup tanpa ke hilangan arah atau merasakan ketiadaan.

Teori kontinuitas, seperti dua teori sebelumnya, juga tergolong teori sosiologi lansia dalam perspektif fungsionalis. Teori ini me­lihat masyarakat fungsional bila kontinuitas peran berlangsung da­lam masyarakat. Adapun kritik terhadap teori ini terkait dengan cakupan teori ini terlalu luas, sehingga mengabaikan pengalaman signifikan yang diperkirakan mempengaruhi adaptasi.

d.  Teori Peran Sosial

Teori peran sosial (social role theory) mengasumsikan: satu, adanya seperangkat aturan, peraturan, dan peran; dua, bahwa se­tiap usia individu akan mengalami perubahan (adaptasi) terhadap sejumlah peran sosial yang dimiliki individu dan bagaimana hal itu dilaksanakan. Di sini peran dikonseptualisasikan dalam pengertian Parsonian dan didefinisikan dalam pengertian harapan peran dan orientasi peran. Peran adalah bagian dari tatanan normatif masyarakat dan merupakan penentu kuat terhadap perilaku, ka­rena ada sanksi terhadap penyimpangan dari “harapan sosial”. Pe­ran sosial dapat dikonseptualisasikan sebagai pola perilaku yang diharapkan dari seorang individu yang menduduki status sosial tertentu (juga digunakan konsep posisi sosial), dalam hal ini status sosial sebagai lansia. Dalam kenyataannya dunia sosial merupakan entitas yang kompleks dan oleh sebab itu setiap individu tidak ha­nya memiliki satu peran saja, melainkan sebaliknya memiliki ba­nyak peran untuk dimainkan secara bersamaan. Seseorang dapat terlibat dalam ibu, guru, peran pasangan, saudara kandung atau pengurus ikatan kedaerahan pada saat yang bersamaan. Semua pe­ran ini menekankan aspek­aspek yang berbeda dari masing­masing individu.

Dalam arti luas, peran sosial yang bersaing berbeda dalam tiga cara utama: satu, peran akan menekankan kualitas yang berbeda. Beberapa peran didefinisikan dalam hal tugas yang dilakukan, se­perti peran pekerja, sementara yang lain didefinisikan lebih dalam hal konten emosional, seperti istri atau suami; dua, peran sosial bervariasi dalam jenis penghargaan yang ditawarkan, seperti uang, prestise, status, dukungan emosional atau kepuasan; tiga, peran dievaluasi sesuai dengan nilai­nilai masyarakat. Sebagai contoh, peran lansia dalam masyarakat perkotaan industrial dipandang memiliki nilai yang tidak tinggi dengan masyarakat perdesaan pertanian, misalnya.

Kritik terhadap teori ini adalah gagasan peran sosial merupakan bidang dari dunia sosial yang kompleks dan dinamis dunia so­sial. Dalam usaha untuk memahami kehidupan lansia diperlukan kemampuan mengintegrasikan pemahaman tentang peran berbeda yang dimainkan oleh lansia dan bagaimana mereka memahaminya.

e.  Teori Stratifikasi Usia

Teori stratifikasi usia (age stratification theory) memiliki tiga asumsi dasar, yaitu: satu, makna usia dan posisi kelompok usia dalam konteks sosial tertentu; dua, transisi yang dialami individu selama siklus hidup karena definisi sosial usia tersebut; dan tiga, mekanisme untuk alokasi peran antarindividu.

Riley (1971) berpendapat bahwa setiap kelompok usia (muda, usia menengah, dan tua) dapat dianalisis berdasarkan peran yang dimainkan oleh anggota kelompok tersebut dalam masyarakat dan bagaimana hal ini dihargai. Misalnya dalam bidang pekerjaan, pe­kerja dapat diklasifikasikan sebagai “lebih tua” dan “lebih muda” dan yang terakhir bernilai lebih tinggi karena mereka merasakan produktivitas, inovasi, dan vitalitas yang lebih besar. Penggunaan usia kronologis dalam membimbing alokasi peran sosial mungkin bersifat universal untuk semua budaya, tetapi sifat yang tepat dari norma­norma usia ini mencerminkan budaya, sejarah, nilai­nilai dan struktur masyarakat tertentu. Sebagai contoh, selama abad ke­20 ada banyak variasi dalam beberapa aspek siklus hidup. Mengasuh dan membesarkan anak sekarang terbatas pada periode yang jauh lebih pendek dari sebelumnya ketika perempuan “aktif se­ cara reproduktif” selama dua puluh lima hingga tiga puluh ta hun. Ini telah dicocokkan oleh penciptaan dan peningkatan durasi fase sarang kosong (the empty nest phase) dari siklus hidup. Demikian pula, dalam masyarakat tertentu ukuran, komposisi dan sejarah kelompok tertentu memengaruhi baik waktu dan urutan peristiwa kehidupan utama. Keberadaan layanan nasional wajib akan ‘me­nunda’ transisi kehidupan utama seperti pernikahan, pergi ke universitas atau memulai karier.

Norma­norma usia dalam perilaku tersebut, lanjut Riley (1971), mungkin berasal dari tradisi, keteraturan faktual atau negosiasi. Apa pun asalnya, mereka didasarkan pada asumsi, baik eksplisit maupun implisit, tentang kemampuan dan keterbatasan terkait usia. Norma­norma ini mungkin, bagaimanapun, bervariasi menurut kelas sosial, etnis atau jenis kelamin, secara historis atau budaya. Misalnya, anggota kelas pekerja biasanya menikah pada usia yang lebih muda daripada anggota kelas profesional. Demikian pula, usia pada pernikahan pertama biasanya lebih tua untuk laki­laki daripada perempuan. Karena variasi ini, norma usia memiliki realitas dan makna yang berbeda untuk berbagai kelompok sosial. Meskipun demikian, usia adalah kriteria universal untuk alokasi peran. Penggolongan usia peran dalam sistem stratifikasi usia menciptakan perbedaan usia dan ketidaksetaraan. Setiap kelompok usia dievaluasi, baik dengan sendirinya dan orang lain di masyarakat, dalam hal nilai sosial yang dominan. Evaluasi peran yang berbeda ini akan menghasilkan distribusi kekuatan dan prestise yang tidak merata di seluruh kelompok umur. Jadi, ketika masyarakat menghargai akumulasi pengalaman dan kebijaksanaan dari yang lama, dan memungkinkan mereka untuk mengambil peran yang memanfaatkan pengalaman ini, maka orang yang lanjut usia akan diberikan posisi yang terhormat.

Teori stratifikasi usia dikritik karena terlalu makro, sementara lansia dipertimbangan memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu, sehingga kemampuan lasia sebagai aktor yang dapat melakukan sesuatu dan memiliki kepentingan tertentu diabaikan oleh teori ini.

f. Teori Modernisasi

Teori modernisasi memiliki asumsi dasar bahwa masyarakat bergerak dari daerah perdesaan pertanian menuju daerah perkotaan industrial. Pergerakan ini menyebabkan posisi lansia memburuk karena urbanisasi dan industrialisasi bergabung untuk melemahkan keluarga besar dan menggantinya dengan keluarga inti sebagai unit utama masyarakat dan mengisolasi lansia, baik masyarakat maupun keluarga.

Posisi lansia dalam masyarakast pra­industri biasanya digambarkan sebagai sesuatu yang penuh dengan rasa hormat dan otoritas. Biasanya, masyarakat pra­industri digambarkan sebagai “zaman keemasan” dari penuaan dan lansia, meskipun setiap tahap dalam sejarah tampaknya melihat kembali ke masa keemasannya sendiri. Pandangan stereotip tentang masa lalu ini biasanya bertolak belakang dengan posisi mereka dalam masyarakat modern di mana lansia dianggap lebih buruk karena mereka dipandang sebagai pensiunan yang tiada berguna, diabaikan oleh keluarga mereka dan dipinggirkan oleh budaya anak muda yang sedang  berlaku.

Cowgill dan Holmes (1972), sebagai peneroka teori modernisasi dalam teori sosiologi lansia, mengembangkan empat parameter dalam proses modernisasi, yaitu: perbaikan dalam teknologi medis, aplikasi untuk ekonomi ilmu pengetahuan dan teknologi, urbanisasi, serta pendidikan massal. Atas landasan itu, Cowgill dan Holmes berpendapat bahwa perbaikan dalam pera­watan kesehatan menyebabkan perpanjangan dari proses penuaan penduduk. Penurunan potensi kematian menghasilkan penuaan penduduk yang bekerja dan penurunan kesempatan kerja bagi kaum muda. Jadi, ketegangan antargenerasi diciptakan oleh kompetisi untuk pekerjaan. Pensiun kemudian menjadi pengganti so­sial untuk kematian dan menciptakan peluang kerja bagi kaum muda. Namun dominasi etos kerja yang berlaku menghasilkan “devaluasi” dari pensiun. Selain itu, perkembangan ekonomi dan teknologi mendevaluasi keterampilan ketenagakerjaan yang lama. Urbanisasi menarik orang­orang muda dari daerah perdesaan, yang mengakibatkan pecahnya keluarga besar. Akhirnya, pengembangan pendidikan massa mengurangi daya tahan yang dimiliki  orangtua terhadap orang yang lebih muda. Perubahan dalam empat faktor ini berkontribusi, dikatakan Cowgill dan Holmes (1972), untuk penurunan status lansia dalam masyarakat modern.

Dalam lingkungan sosial yang berkembang seperti itu, kaum  muda dan kemajuan disanjung­sanjung. Sementara tradisi dan pengalaman dari lansia dilihat sebagai tidak relevan. Kekuatan dan  gengsi mereka yang berkurang tersebut menempatkan mereka pada posisi yang kurang menguntungkan. Lansia secara sosial dan fisik ditinggalkan dan hidup di pinggiran masyarakat secara marginal. Kritik teori modernisasi melihat masyarakat pra­industri dan  industri sebagai masyarakat homogen sehingga mengilustrasikan  keseragaman dalam atribut yang ditampilkan pada lansia.

RSS
Follow by Email
WhatsApp