Tag: PSIKOLOGI ISLAM

PSIKOLOGI MENURUT PANDANGAN AL-FARABI

Al-Farabi menaruh perhatian besar pada eksistensi jiwa dalam kaitannya dengan kekuatan berpikir menurut dia jiwa ada dalam tubuh manusia, memancar dari akal kesepuluh. Dari akal kesepu­luh ini pulalah memancar bumi, roh, api udara dan tanah. Dalam persoalan jiwa ini al-Farabi mencoba melakukan sintesis antara pendapat Plato dengan Aristoteles. Menurut Plato, jiwa itu ia sesua­tu yang berbeda dengan tubuh, ia adalah substansi rohani. Adapun menurut Aristoteles, jiwa adalah bentuk tubuh.

Dalam hal ini, al-Farabi mencoba mencari jalan kompromis an­tara kedua pendapat yang berbeda di atas. Menurut dia, jiwa itu be­rupa substansi dalam dirinya dan bentuk berhubungannya dengan tubuh. Tampak dengan jelas al-Farabi mengambil teori substansi dari Plato dan teori bentuk dari Aristoteles.

Al-Farabi, dengan kontribusi pemikirannya tentang kesem­purnaan manusia yang dituangkan melalui lima konsep kemam­puan dan daya manusia, yaitu: (1) daya vegetatif atau kemampuan tumbuh berkembang (al-quwwat al-ghadziyah), (2) daya mengindra (al-quwwah al-hassah), (3) daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhay­yilah), (4) daya berpikir (al-quwwat al-nâthiqah), dan (5) daya rasa (al-quwwah al-tarwi`iyyah). Kelima kemampuan atau daya yang ada pada diri manusia, menurut al-Farabi memiliki berbagai macam daya yang akan menghantarkan dirinya sebagai manusia yang se­hat dalam kehidupannya, yang diperoleh melalui tiga daya yang dimiliki, yaitu; daya indra (al-quwwah al-hassah), daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), dan daya pikir (al-quwwah al-nâthi­qah), yang masing-masing disebut sebagai indra eksternal, indra internal dan intelek (M. Bahrun Amiq dan Miftahus Surur, 2011).

Ketiga macam indra tersebut merupakan sarana utama dalam pencapaian kemajuan dalam pengembangan kepribadian (perso­nality) manusia. Kemudian, terkait dengan konsentrasi kognisi, al-Farabi menjelaskan melalui enam macam kajian kognisi yang meli­puti:  (1) cerdas atau cerdik (perceptive), maksudnya kognisi sebagai kesepakatan umum, yakni: dimiliki oleh semua orang, (2) intelek, kognisi ini dimaksudkan oleh difungsikan untuk membenarkan atau menolak pendapat tertentu (untuk mengukur kemasuk-akal­an atau kerasionalan), (3) kognisi yang disebut habitual action, Kog­nisi ini mengantarkan manusia untuk mengetahui prinsip-prinsip pembuktian (demonstration) secara intuitif, (4) kognisi akal praktis (berpikir praktis), yakni kognisi hasil pergumulan panjang manu­sia yang memberinya kesadaran tentang tindakan yang patut dipi­lih atau dihindari, dan (5) kognisi sebagaimana yang dibahas oleh Aristoteles, yang meliputi empat macam konsep: Akal potensial (al-`aql bi al-quwwah), intelek aktual (al-`aql bi al-fi`l), akal perolehan (al-aql al-mustafâd), dan akal aktif (al-`aql al-fa`âl), (6) metafisika, kognisi yang disebut oleh Aristoteles sebagai alat untuk berpikir dan  berswacita mengenai dirinya sendiri.

Selain itu, al-Farabi mencoba memilah jiwa menjadi tiga ma­cam. Pertama daya gerak, seperti halnya gerak untuk makan, gerak untuk memelihara sesuatu, dan gerak untuk berkembang biak. Ke­dua, daya mengetahui seperti mengetahui dalam merasa dan me­ngetahui dalam berimajinasi. Ketiga, daya berpikir yang yang diba­gi ke dalam akal praktis dan akal teoretis (Hasyimsyah Nasution, 2005).

Akal teoretis terbagi ke dalam tiga tingkatan yaitu: (a) akal po­tensial adalah akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti; melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya, (b) akal aktual, adalah akal yang telah dapat melepaskan diri dari ma­terinya, dan arti-arti ini telah memiliki wujud dalam akal yang se­benarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi dalam bentuk aktual, (c) akal mustafad adalah akal yang telah dapat mempunyai kesanggupan menggunakan komunikasi dengan akal 10, yaitu akal yang dapat menjangkau tentang keberadaan Tuhan.

Tentang akal praktis dan teoretis, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, di mana akal praktis memiliki fungsi untuk menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan oleh seseorang. Adapun akal teoretis berfungsi untuk membantu dalam menyempurnakan jiwa. Selanjutnya akal teoretis dibagi lagi menjadi tiga macam. Per­tama, akal potensial atau akal fisik (materiel). Akal ini dapat me­nangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Kedua, akal aktual, akal biasa (habitual). Akal ini dapat menangkap makna-makna dan konsep-konsep belaka. Keti­ga, akal mustafad, akal yang diperoleh acquired, yaitu suatu akal yang mampu mengadakan komunikasi dengan Sang Pencipta.

Konsep kebahagiaan menurut al-Farabi, akan terwujud apa­bila jiwanya sudah sempurna. Salah satu indikasi kesempurnaan jiwa ialah apabila ia sudah tidak lagi terpaku pada materi (Mahera, 2011). Pengertian kebahagiaan menurut al-Farabi kebahagiaan me­ngandung kelezatan yakni kelezatan jasmani dan akal. Kelezatan jasmani hanya sebentar, mudah diperoleh, dan cepat hilang. Ada­pun kelezatan akal awet dan inilah tujuan hidup hakiki manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia perlu mengembangkan daya pikir yang benar, agar mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah, serta punya kemauan keras. Terutama memiliki keutamaan sebagai hasil yang diperoleh dari pemikiran teoretis, pemikiran praktis, sikap mental yang benar dan melakukan perbu­atan yang benar (Hasyimsyah Nasution, 2005).

Penderitaan hidup yang akan datang, di pihak lain, mengan­dung arti tekanan atau siksaan yang menyertai rasa sakit yang tidak ada akhirnya karena kerinduannya akan kesenangan jas­mani akan menimpa jiwa yang tidak patuh. Sebab sekalipun me­reka mengambil bagian keutamaan teoretis, namun jiwa-jiwa itu terseret ke dalam oleh kesukaan materiil, yang menghalangi me­reka untuk menjalankan profesi intelektual mereka, dan sekarang dalam keadaan hidup tanpa wujud, mereka terus-menerus akan menderita keinginan-keinginan yang telah dipenuhi kesenangan-kesenangan indrawi ketika mereka bersatu dengan tubuh, dan penderitaan mereka akan bertambah ketika mereka digabungkan dengan kelompok jiwa yang tidak patuh yang meninggalkan dunia ini. Untuk itu, kata al-Farabi diperlukan pengetahuan tentang ke­bahagiaan sejati sebagai prasyarat memperoleh kebahagiaan aba­di, dan juga sebagai prasyarat kelangsungan hidup yang nyata se­telah mati (Hasyimsyah Nasution, 2005).

PSIKOLOGI MENURUT PANDANGAN AL-KINDI

Al-Kindi mendefenisikan jiwa sebagai berikut, “Kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki ke­hidupan yang energik, atau kesempurnaan fisik alami yang memi­liki alat dan mengalami kehidupan. Dalam hal jiwa, al-Kindi lebih dekat dengan pandangan Aristoteles. Menurut al-Kindi bahwa jiwa memiliki 3 daya (Hasyimsyah Nasution, 2005), antara lain

1.     daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwāniyyah),

2.     daya marah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) dan

3.     daya berpikir (al-quwwah al-‘aqilah), daya berpikir ini disebut akal.

Bagi al-Kindi akal terbagi ke dalam tiga bagian yaitu; (1), akal yang bersifat potensial; (2) akal yang keluar dari sifat potensial menjadi aktual; (3) akal yang telah mencapai tingkat kedua dari ak­tualitas.

Menurut al-Kindi bahwa jiwa tidak tersusun, namun mem­punyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansi jiwa berasal dari Tuhan. Hubungan jiwa dengan Tuhan sama dengan hubung­an cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ila­hiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Jiwa atau ruh tidak pernah tidur, hanya saja ketika tubuh tertidur, ia tidak menggunakan in­dra-indranya. Dan bila disucikan, ruh dapat melihat mimpi-mim­pi luar biasa dalam tidur dan dapat berbicara dengan ruh-ruh lain yang telah terpisah dari tubuh-tubuh mereka. Argumen yang di­kemukakan AI-Kindi tentang perbedaan ruh dengan badan adalah bahwa ruh menentang keinginan hawa nafsu dan sifat pemarah.

Bagi al-Kindi jiwa akan tetap kekal setelah kematian. Dia pin­dah ke alam kebenaran yang di dalamnya terdapat nur Sang Pen­cipta. Itulah tempatnya yang abadi. Di tempat itu, ia sangat dekat dengan Sang Pencipta. Itulah tempatnya yang abadi. Di tempat itu, ia sangat dekat dengan Sang pencipta sehingga mampu mengeta­hui segala hal, yaitu mengetahui setiap yang nyata maupun yang tidak nyata, atau mengetahui setiap rahasia dan bukan rahasia. Mengenai hal ini al-Kindi mendasarkan pendapatnya pada ayat Al-Qur’an; sesungguhnya kamu dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, se­hingga penglihatanmu pada hari itu amat tajam (QS. Qaf: 22).

Al-Kindi memiliki buku kecil tentang obat duka yang berjudul Kiat Melawan Kesedihan. Dalam bukunya ini al-Kindi mendefinisi­kan tentang kesedihan, dan menjelaskan sebab-musabab kesedih­an, serta menyebutkan beberapa cara untuk melawan kesedihan. Al-Kindi mendefinisikan kesedihan sebagai gangguan psikis (ne­urosis) yang terjadi karena kehilangan hal-hal yang dicintai dan yang diinginkan.

Al-Kindi menasihati, agar perbaikan dan penyembuhan jiwa dari gangguan kesedihan dilakukan secara bertahap. Pertama-tama dengan membiasakan diri melaksanakan kebiasaan terpu­ji pada hal-hal yang sepele. Kemudian meningkatkan pada tahap mendisiplinkan kebiasaan terpuji tadi pada hal-hal yang sulit, baru setelah itu meningkat ke hal-hal yang lebih sulit. Tahapan itu ber­lanjut hingga kita sampai pada hal-hal yang sangat sulit.

Lebih lanjut al-Kindi mengatakan, “Kita harus lebih sabar da­lam memperbaiki diri dalam menyembuhkan gangguan fisik. Apa­lagi penyembuhan jiwa lebih ringan dari segi biaya dan ketidak­nyamanan dibanding penyembuhan gangguan fisik. Perbaikan diri ini hanya dapat dilakukan dengan kekuatan tekad atas orang yang memperbaiki diri kita, bukan dengan obat yang dapat diminum, bukan deraan ataupun api, dan bukan pula dengan biaya uang. Te­tapi itu melalui disiplin diri dengan kebiasaan yang terpuji pada hal yang kecil atau sepele. Kemudian meningkat pada tahap pem­biasaan yang lebih besar daripada itu. Jika hal itu telah menjadi ke­biasaan, maka kita meningkat ke tahap yang lebih tinggi sehingga kita dapat membiasakan hal-hal yang lebih besar sebagaimana ke­biasaan pada hal-hal yang lebih kecil. Sebab, kebiasaan itu memu­dahkan apa yang kita bayangkan dan memudahkan kesabaran atas berbagai peristiwa kehilangan dan kepergian.

Dengan ide ini, al-Kindi telah mendahului para psikolog mo­dern yang menganut prinsip belajar, yaitu prinsip bertahap dalam mempelajari kebiasaan yang sulit. Prinsip ini telah digunakan oleh psikiater behavioristik modern dalam menyembuhkan diri dari ke­biasaan yang buruk dan dalam menyembuhkan keresahan.

Konsep Kebahagiaan Menurut al-Kindi kebahagiaan sejati bagi manusia bukanlah kenikmatan yang bersifat indrawi, duniawi, dan artifisial, tetapi berupa kenikmatan indrawi; dan mendekatkan diri kepada Allah-sehingga Dia memancarkan cahaya dan rahmat kepadanya. Wal­hasil, pada saat itu manusia merasakan kenikmatan abadi di atas segala kenikmatan indrawi yang dapat dicapai dari kenikmatan hidup duniawi.