Tag: jurnalistik
HOAKS DALAM AL-QUR’AN
Hoaks dalam bahasa agama dapat dipahami sebagai usaha memperdaya orang banyak lewat berita bohong (deceive somebody with a hoax); memperdaya sekelompok orang dengan cara membuat orang lain yakin pada berita yang telah dipalsukan. Dalam Al-Qur’an dapat ditemukan sejumlah ayat yang secara eksplisit memberikan tuntunan kepada manusia dalam menyikapi berkembangnya hoaks. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. al–Hujarat: 6)
Jawad Mugniah dalam at-Tafsîr al-Mubîn menguraikan, bahwa surah al-Hujarat: 6 ini menjelaskan tentang haramnya menerima berita dari orang fasik tanpa melakukan klarifikasi (tabayun) kebenarannya. Datangnya berita dari orang fasik dikhawatirkan akan membahayakan bagi orang lain. Dalam istilah ushul fiqh, ayat ini juga menunjukkan larangan untuk mengikuti tata cara orang-orang fasik. Bersandar pada ayat ini, sebagian ulama juga berargumen kewajiban untuk mengambil berita dari orang yang terpercaya (tsiqah), tanpa harus melakukan klarifikasi terlebih dahulu. Oleh karenanya, dalam kajian ilmu Hadis, sebuah kabar Hadis aĥad yang terpercaya (tsiqah)— Hadis yang diriwayatkan hanya satu orang, tidak secara mutawâtir sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an dapat diterima dan bisa dijadikan sebagai argumen. Ayat ini juga mengajarkan untuk mengenali tanda-tanda orang fasik? Fa-sa-qa atau fasik—sebagaimana disebutkan oleh Ibn Fâris dalam Maqāyis—adalah keluar dari jalur ketaatan. Demikian juga al-Mushtafawî dalam at-Tahqîq fî Kalimât Al-Qurân menjelaskannya, sebagai keluarnya sesuatu dari hal-hal yang disepakati, baik secara agama, akal maupun hukum natural. Tandasnya, merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an maka yang dimaksud sebagai orang fasik adalah orang yang keluar dari ketentuan akal sehat, adab sopan santun dan agama.
Oleh karenanya, sangat sulit menentukan seseorang yang belum kita kenali kredibilitasnya sebagai orang jujur. Melalui QS. al-Hujurat: 6, Allah Swt. memberikan tuntunan kepada kita agar bersikap hati-hati, tidak gegabah dan tidak tergesa-gesa dalam menerima sebuah berita, khususnya jika berita tersebut datang dari seorang yang sudah dikenali kefasikannya. Ayat ini juga mengisyaratkan agar kita selalu melakukan klarifikasi/tabayun saat menerima berita dari orang yang tidak kita kenali. Ayat ini memberikan tuntunan kepada kita agar lebih berhati-hati dalam menerima maupun menyampaikan sebuah berita, apalagi berita tersebut menyalahi beberapa ketentuan yang sudah berlaku/telah disepakati seperti ketentuan akal sehat, adab sopan santun maupun agama. Tuntunan agama agar kita menjadi orang yang lebih cerdas dalam bersikap. Berusaha untuk menyampaikan berita yang benar, bukan bohong (hoax). Implikasi dari kesalahan dalam menerima maupun menyampaikan berita adalah menimbulkan dampak negatif, yakni: merusak sebuah tatanan masyarakat. “Agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Hal ini selaras dengan pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an, yakni, segala kebenaran baik dalam sikap dan tutur kata terliput di dalamnya kabar yang benar akan lebih dekat kepada ketakwaan. Takwa merupakan penyokong kebenaran dalam berucap dan bertutur kata. Ucapan dan tutur kata yang benar akan menjadi salah satu sebab kebaikan tindakan. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS. al–Ahzab: 70-71)
PERAN KONVERGENSI MEDIA PADA AKTIVITAS DIGITAL JURNALISTIK
Salah satu bahasan pada buku ini adalah bagaimana peran media Konvergensi dalam aktivitas public relations, jurnalistik, dan broadcasting
Kali ini saya akan mengambil tema peran konvergensi media pada aktivitas digital jurnalistik dari buku ini, dilain kesempatan akan saya upload isi buku ini untuk dua pembahasan lainnya.
Secara sederhana, konvergensi media adalah proses mengintegrasikan media baru ke dalam sistem media tradisional. Dengan demikian, sikap jurnalis terhadap media baru menjadi dasar pemahaman yang lebih baik tentang sikap jurnalis terhadap konvergensi antara media tradisional dan media baru. Beberapa dekade yang lalu, jurnalisme merupakan salah satu penentu dari informasi publik atau dapat disebut sebagai proses gatekeeper of public information (penjaga gerbang informasi publik). Namun, berkat pertumbuhan eksplosif dalam inovasi teknologi dan konvergensi media, baik jurnalis profesional maupun warga biasa dapat berfungsi sebagai reporter modern. Mereka dapat memanfaatkan platform digital dan media sosial seperti Twitter, Facebook live, dan video YouTube sebagai sarana berbagi informasi dengan publik.
Jurnalisme dan teknologi terjalin erat satu sama lain, saat ini. Web 2.0 dan teknologi informasi berbasis Internet telah sangat mengganggu dunia jurnalisme modern. Dunia jurnalistik saat ini berada di tengah-tengah perubahan yang kacau, terutama didorong oleh perkembangan teknologi dan ketidakpastian ekonomi dalam skala global. Para ahli dan akademisi mengonseptualisasikan transformasi jurnalisme dan menjelaskan perubahan yang terjadi pada level yang berbeda di bawah rubrik konvergensi (Mitchelstein & Boczkowski, 2009).
Konvergensi media pada umumnya dianggap sebagai konstruksi multidimensi yang memungkinkan konsepsi dan operasionalisasi yang berbeda (Domingo et al., 2007; Dupagne & Garrison, 2006), sedangkan yang melekat dalam konsep konvergensi adalah gagasan tentang integrasi dan kolaborasi (Erdal, 2011). Dalam bidang jurnalisme, model konvergensi media yang bertumpu pada tiga dimensi: teknologi, ekonomi, dan regulasi.
Ketiga dimensi ini menghasilkan efek yang memengaruhi penggunaan media, keragaman konten, dan praktik ruang berita (newsroom). Konvergensi media pada jurnalistik berkonotasi dengan Produksi berita yang terintegrasi, pengiriman berita dan informasi multiplatform, penceritaan (storytelling) multimedia, dan model jurnalisme partisipatif (jurnalisme warga). Dikatakan bahwa salah satu dari dimensi konvergensi ini dapat dikembangkan di media dengan sendirinya, tetapi dalam banyak kasus, ketiga dimensi ini adalah bagian dari “proyek konvergensi” yang sama. Sekali lagi gagasan tentang efek dicatat.
Model konvergensi dalam organisasi media jurnalistik, yang mencakup lima bentuk konvergensi yang berbeda (Spyridou & Veglis, 2016), yaitu:
1. Ownership convergence, konvergensi kepemilikan mengacu pada strategi perusahaan yang mendorong kepemilikan berbagai konten atau saluran distribusi, sehingga sering kali melibatkan merger dan akuisisi media.
2. Tactical convergence, yang menekankan kemitraan konten dan promosi silang konten.
3. Structural convergence, konvergensi struktural melibatkan Perubahan dalam uraian tugas dan struktur organisasi di dalam ruang redaksi untuk mencapai kinerja yang maksimal.
4. Information-gathering convergence, konvergensi pengumpulan- Informasi mengharuskan reporter menjadi multi-terampil dan mampu menulis cerita, merekam video, dan mengeditnya sendiri. Saat ini pewarta dan pencari berita (wartawan) harus memiliki beragam keterampilan (multi-skilled) dengan beragam kemampuan mengunakan media digital (multi-tasking).
5. Storytelling Convergence, yang berkonotasi bahwa jurnalis harus memikirkan kembali cara mereka menyampaikan cerita dan memanfaatkan kemampuan unik masing-masing media. Konvergensi dalam jurnalisme merupakan proses multidimensi yang difasilitasi oleh penerapan teknologi komunikasi digital (konvergensi media) yang meluas mempengaruhi beragam aspek. Mulai dari aspek teknologi, bisnis, profesional, dan editorial media. Konvergensi dalam jurnaslisme mendorong penggunaan peralatan secara terintegrasi, ruang kerja, metode kerja, dan bahasa. Yang sebelumnya semuanya itu terpisah, saat ini terkonvergensi hingga sedemikian rupa sehingga jurnalis dapat menulis konten untuk didistribusikan melalui berbagai platform, dengan menggunakan Bahasa yang sesuai di masing-masing medianya.
Gambar 8.1. Model Kerja NewsRoom 3.0 Media-Integrated NewsRoom (sumber: olahan grafis penulis)
Gambar 8.2. Multi-skilled yang Dibutuhkan dalam Konvergensi Newsroom
sumber: Media Convergence Handbook Vol 1 (Lugmayr & Dal Zotto, 2015)