PSIKOLOGI MENURUT PANDANGAN IBN SINA (980-1037 M)
Maret 29, 2023Kata jiwa berasal dari bahasa Arab yaitu nafs’ merupakan satu kata yang memiliki banyak makna (lafzh al-Musytaraq) dan dipahami sesuai dengan penggunaanya. Term nafs terdapat dalam Al-Qur’an dengan makna yang berbeda. Terkadang ditujukan pada hakikat jiwa, yaitu terdiri dari tubuh dan ruh, sebagaimana tampak dalam Al-Qur’an, “Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk”(as-Sajadah: 13). Dan “Allah tidak membebani (jiwa) seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. al-Baqarah: 286). Selain itu juga ditujukan maknanya kepada diri manusia yang memiliki kecenderungan, seperti ayat “Maka, hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang yang merugi” (QS. al-Maidah: 30).
Ibnu Sina mendefinisikan ruh sama dengan jiwa (nafs). Namun, perhatian Ibn Sina lebih banyak kepada jiwa dalam bentuk hakikat dan eksistensinya. Ia mendefinisikan jiwa sebagaimana Aristoteles yang telah mendefinisikannya. Menurut Ibn Sina, jiwa merupakan hakikat manusia sebenarnya. Jiwa merupakan kesempurnaan awal, dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip pertama yang dengannya suatu spesies (jins) menjadi manusia yang berinteraksi dengan nyata (Muhammad Ustman Najjati, 2004). Artinya jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab, tubuh sendiri merupakan prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran ia bisa dinamakan jiwa jika aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku.
Jiwa juga kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik atau bagi tubuh alamiah dan bukan bagi tubuh buatan. Yang dimaksudkan Ibnu Sina dengan mekanistik adalah bahwa fisik melaksanakan kesempurnaannya yang kedua atau sifatnya yang berkaitan dengan manusia yang tidak lain dari berbagai perilaku atau fungsinya dengan mediasi alat-alat tertentu yang ada di dalamnya, yaitu berbagai tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi psikologis.
Definisi jiwa yang telah dikemukakan oleh Ibn Sina di atas tidak berbeda dengan pengertian yang diberikan al-Farabi yang sumber asalnya tidak lepas dari konsep Aristoteles. Namun Ibn Sina menafsirkan kesempurnaan tidak dalam arti sebagai wujud seperti konsep Aristoteles yang tidak dapat dipisahkan dari materi. Berdasarkan konsep Aristoteles ini, jiwa dalam arti bentuk akan turut hancur dengan hancurnya jasad fisik, ketika mati. Ibn Sina menjelaskan bahwa memang bentuk itu merupakan kesempurnaan bagi jasad tetapi tidak berarti semua kesempurnaan itu adalah bentuk. Raja adalah kesempurnaan atau kelengkapan negara, tetapi jelas bukan merupakan form negara. Jadi nafs sebagai kesempurnaan jisim menurut Ibn Sina, berbeda dengan jiwa sebagai bentuk menurut Aristoteles. Dengan demikian, jiwa bukanlah seperti jasad, tetapi ia adalah substansi rohani.
Lebih jauh lagi ditegaskan sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur Rahman, bahwa bagi Aristoteles, jiwa tidak dapat terpisah secara independen dari badan, ia adalah “the intelechy of a natural organized body.” Formula ini tidak harus dipahami dalam arti bahwa semula terdapat badan yang sudah terbentuk, kemudian jiwa datang dan memasukinya. Sebenarnya jiwa itu sendiri yang—sebagai suatu prinsip yang immanent—telah membentuk jasad, memberikan karakter spesifik, dan membuatnya sebagai apa adanya. Pandangan Aristoteles ini memperoleh perspektif baru di tangan Ibn Sina dengan kekalnya jiwa setelah jasad mengalami kematian.
Dalam kaitan dengan aktivitas kejiwaan ini Ibnu sina mengajukan 4 argumentasi sebagai berikut:
1. Argumentasi psikofisik.
2. Argumentasi “aku”.
3. Argumentasi kontinuitas.
4. Argumentasi manusia terbang di udara.
1. Argumentasi Psikofisik
a. Gerak dapat dibedakan kepada gerak terpaksa yaitu gerak yang didorong oleh unsur luar.
b. Sedangkan gerak tidak terpaksa yaitu sesuai dengan hukum alam dan menentang hukum alam.
c. Sesuai dengan hukum alam, manusia harus diam di tempat karena memiliki berat badan sama dengan benda padat.
d. Sedangkan yang menentang hukum alam, yaitu ada penggerak di luar unsur tubuh itu sendiri, yang oleh ibnu sina dikatakan jiwa.
2. Argumentasi “Aku”
Aku dalam pendangan ibnu sina bukanlah fenomena fisik, tetapi jiwa dan kekuatannya. Kekuatan jiwa itu menimbulkan fenomena yang berbeda-beda, seperti benci-cinta, susah-gembira, menolak dan menerima. Semua fenomena tersebut merupakan kesatuan. Sebab jiwa saling bermusuhan tidak akan timbul keharmonisan. Oleh karena itu, jiwa perlu mempersatukan yang berbeda itu supaya timbul keserasian. Kalau keserasian lemah, lemah juga kehidupan, dan begitu juga sebaliknya.
3. Argumentasi Kontinuitas
Hidup rohaniah menurut ibnu sina adalah hari ini berkaitan dengan kemarin tanpa ada kekosongan. Hidup ini berubah dalam untaian yang tidak putus-putus. Sebagai contoh ibnu sina membandingkan antara badan dan jiwa. Badan kalau tidak diberi makan dalam waktu tertentu badannya akan berkurang, karena badan mengalami penyusutan, sedangkan jiwa tidak tetap dan tidak berubah. Dengan demikian jiwa berbeda dengan badan.
4. Argumentasi Manusia Terbang di Udara
Andaikata ada seorang yang lahir dengan diberi kekuatan akal dan jasmani yang sempurna, kemudian ia menutup matanya, sehingga ia tidak melihat apa-apa yang di sekelilingnya. Kemudian dia diletakkan di udara, dan diatur supaya tidak terjadi benturan dengan apa yang ada di sekelilingnya, tanpa ragu-ragu orang tersebut akan mengatakan dirinya ada. Pada saat itu boleh jadi ia mengatakan ia tidak bisa mengatakan bahwa badannya ada. Kalau ia mampu menetapkan badan dan anggota badan, maka wujud yang digambarkan itu tidak mempunyai tempat kalau dia saat melayang ia memperkirakan ada tangan atau ada kakinya, dia tidak mengira apakah itu tangan atau kakinya. Dengan demikian, tentang wujud dirinya tidak timbul dari indra melainkan dari jiwa
a. Daya Jiwa (Quwwat an-Nafs)
Selanjutnya Ibn Sina membagi tingkatan jiwa ke dalam tiga bagian.
Pertama, jiwa nabati, yaitu kesempurnaan utama bagi kebutuhan fisik alami dari aspek reproduksi, pertumbuhan dan makan. Makanan merupakan suatu fisik yang menyerupai sifat fisik yang dikatakan sebagai makanannya. Di sana ia bertambah menurut kadar yang terurai darinya, bisa lebih banyak atau lebih sedikit. Kedua, jiwa hewani, yaitu kesempurnaan utama bagi fisik alami mekanik dari aspek persepsi terhadap partikular-partikular dan bergerak atas kehendak sendiri. Ketiga, jiwa rasional (insani), yaitu kesempurnaan utama bagi fisik alami mekanik dari aspek melakukan aktivitas-aktivitas yang ada atas pilihan menurut pertimbangan dan kesimpulan menurut pikiran, serta dari aspek persepsi terhadap hal-hal universal (Hasyimsyah Nasution, 2005).
b. Jiwa Nabati (Tumbuh-tumbuhan)
Jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan) mencakup daya-daya yang ada pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ibnu Sina telah mendefinisikan jiwa tumbuh-tumbuhan sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik dari aspek melahirkan, tumbuh dan makan. Jiwa tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu:
1) Daya nutrisi, yaitu daya yang mengubah makanan menjadi bentuk tubuh, di mana daya tersebut ada di dalamnya.
2) Daya penumbuh, yaitu daya yang menambah kesesuaian pada seluruh bagian tubuh yang diubah karena makanan, baik dari segi panjang, lebar maupun volume.
3) Daya reproduktif, yaitu daya yang mengambil dari tubuh suatu bagian yang secara potensial sama, sehingga terjadi proses penciptaan dan pencampuran yang membuatnya sama secara nyata.
c. Jiwa Hewani
Jiwa hewani mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan, sedangkan pada tumbuh-tumbuhan tidak ada sama sekali. Ibn Sina mendefinisikan jiwa hewani sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta merangkap berbagai parsilitas dan bergerak karena keinginan. Jiwa hewani memiliki dua daya, yaitu daya penggerak dan daya persepsi.
1) Daya penggerak (al-quwwah al-Muharrikah), yaitu terdiri dari dua bagian, pertama, pengerak (gerak fisik) sebagai pemicu dan penggerak pelaku. Kedua, Daya tarik (hasrat) yaitu daya yang terbentuk di dalam khayalan suatu bentuk yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, maka hal tersebut akan mendorongnya untuk menggerakkan. Pada Daya tarik (hasrat) ini terbagi menjadi dua subbagian yaitu Daya Syahwat dan Daya Emosi.
2) Daya persepsi terbagi menjadi dua bagian, pertama daya yang memersepsi dari luar, yaitu pancaindra eksternal seperti mata (penglihat), telinga (pendengar), hidung (pencium), lidah (pengecap) dan kulit (peraba). Kedua, daya yang memersepsi dari dalam yaitu indra batin semisal indra kolektif, daya konsepsi, daya fantasi, daya imajinasi (waham) dan memori.
d. Jiwa Rasional (Insani)
Jiwa rasional mencakup daya-daya yang khusus pada manusia. Jiwa rasional melaksanakan fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikan jiwa rasional sebagai kesempurnaan pertama bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, di mana pada suatu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi yang lain ia memersepsi semua persoalan universal. Pada jiwa rasional mempunyai dua daya, yaitu daya akal praktis dan daya akal teoretis.
1) Daya akal praktis cenderung untuk mendorong manusia untuk memutuskan perbuatan yang pantas dilakukan atau ditinggalkan, di mana kita bisa menyebutnya perilaku moral.
2) Daya akal teoretis, yaitu: akal potensial (akal hayulani), akal bakat (habitual), akal aktual dan akal perolehan.
Daya-daya jiwa ini bukanlah daya-daya yang berdiri sendiri, tetapi mereka bekerja sama dan harmonis. Masing-masing saling melayani dan saling memimpin bagi seluruh daya psikis. Masing-masing daya psikis saling melayani. Lalu, akal bakat (bi al-malakah) melayani akal aktual, dan akal materiel (hayulani) melayani akal bakat.
e. Hubungan Jiwa dengan Jasad
Menurut Ibn Sina antara jasad dan jiwa memiliki korelasi sedemikian kuat, saling bantu membantu tanpa henti-hentinya. Jiwa tidak akan pernah mencapai tahap fenomenal tanpa adanya jasad. Begitu tahap ini dicapai ia menjadi sumber hidup, pengatur, dan potensi jasad, bagaikan nakhoda (al-rubban) begitu memasuki kapal ia menjadi pusat penggerak, pengatur dan potensi bagi kapal itu. Jika bukan karena jasad, maka jiwa tidak akan ada, karena tersedianya jasad untuk menerima, merupakan kemestian baginya wujudnya jiwa, dan spesifiknya jasad terhadap jiwa merupakan prinsip entitas dan independennya nafs. Tidak mungkin terdapat nafs kecuali jika telah terdapat materi fisik yang tersedia untuknya. Sejak pertumbuhannya, jiwa memerlukan, tergantung, dan diciptakan karena (tersedianya) jasad. Dalam aktualisasi fungsi kompleksnya, jiwa menggunakan dan memerlukan jasad, misalnya berpikir yang merupakan fungsi spesifiknya tak akan sempurna kecuali jika indra turut membantu dengan efeknya.
Selanjutnya dalam pandangannya pikiran mempunyai pengaruh yang luar biasa terhadap fisik, berdasarkan pengalaman medisnya, Ibn Sina menyatakan bahwa sebenarnya secara fisik orang-orang sakit, hanya dengan kekuatan kemauannyalah dapat menjadi sembuh. Begitu juga orang yang sehat, dapat benar-benar menjadi sakit bila terpengaruh oleh pikirannya bahwa ia sakit. Demikian pula, jika sepotong kayu diletakkan melintang di atas jalan sejengkal, orang dapat berjalan di atas kayu tersebut dengan baik. Akan tetapi jika kayu diletakkan sebagai jembatan yang di bawahnya terdapat jurang yang dalam, orang hampir tidak dapat melintas di atasnya, tanpa benar-benar jatuh. Hal ini disebabkan ia menggambarkan kepada dirinya sendiri tentang kemungkinan jatuh sedemikian rupa, sehingga kekuatan alamiah jasadnya menjadi benar-benar seperti yang digambarkan itu.
Hubungan antara jiwa dan jasad, menurut Ibn Sina tidak terdapat pada satu individu saja. Jiwa yang cukup kuat, bahkan dapat menyembuhkan dan menyakitkan badan lain tanpa menggunakan sarana apa pun. Dalam hal ini ia menunjukkan bukti fenomena hipnotis dan sugesti (al-wahm al’amil) serta sihir. Mengenai masalah ini, Hellenisme memandang sebagai benar-benar gaib, sementara Ibn Sina mampu mengkaji secara ilmiah dengan cara mendeskripsikan betapa jiwa yang kuat itu mampu memengaruhi fenomena yang bersifat fisik. Dengan demikian ia telah berlepas diri dari kecenderungan Yunani yang menganggap hal-hal tersebut sebagai gejala paranatural, pada campur tangan dewa-dewa.
Kemudian, keabadian jiwa bukanlah keabadian yang hakiki sebagaimana keabadian dan kekekalan yang Maha Kekal. Keabadian jiwa menurut Ibnu Sina sebagai sesuatu yang mempunyai awal tetapi tidak mempunyai akhir. Ini berarti kekekalan jiwa adalah kekekalan karena dikekalkan Allah pada akhirnya yang tidak berujung, sedangkan awalnya adalah baru dan dicipta. Atau jiwa punya akhir tidak punya awal. Jiwa tidak mungkin digambarkan sebelum adanya tubuh.
Pemikiran filsufis Ibn Sina tentang kekal abadinya jiwa tampaknya terkait dengan ajaran Islam tentang kekekal-abadiannya surga dan neraka, dan tentu saja pemikiran skolastik tersebut merupakan upaya filsuf ini membangun pemahaman terhadap Islam di atas dasar pemikiran yang sangat mendalam. Namun ketika Ibn Sina sampai pada pendirian bahwa jiwa pada tahap transendental ini tidak lagi berhajat pada jasad—yang oleh karena itu ia menolak adanya kebangkitan jasmani—tak terhindarkan lagi muncul polemik filsufis yang berkepanjangan. Al-Ghazali hadir menggugat pendirian Ibn Sina tersebut dalam Tahafut al-Falasifah, di mana al-Ghazali mengatakan bahwa yang dibangkitkan adalah jasad dan ruh, bukan hanya ruh.