PSIKOLOGI MENURUT PANDANGAN AL-FARABI
Maret 29, 2023Al-Farabi menaruh perhatian besar pada eksistensi jiwa dalam kaitannya dengan kekuatan berpikir menurut dia jiwa ada dalam tubuh manusia, memancar dari akal kesepuluh. Dari akal kesepuluh ini pulalah memancar bumi, roh, api udara dan tanah. Dalam persoalan jiwa ini al-Farabi mencoba melakukan sintesis antara pendapat Plato dengan Aristoteles. Menurut Plato, jiwa itu ia sesuatu yang berbeda dengan tubuh, ia adalah substansi rohani. Adapun menurut Aristoteles, jiwa adalah bentuk tubuh.
Dalam hal ini, al-Farabi mencoba mencari jalan kompromis antara kedua pendapat yang berbeda di atas. Menurut dia, jiwa itu berupa substansi dalam dirinya dan bentuk berhubungannya dengan tubuh. Tampak dengan jelas al-Farabi mengambil teori substansi dari Plato dan teori bentuk dari Aristoteles.
Al-Farabi, dengan kontribusi pemikirannya tentang kesempurnaan manusia yang dituangkan melalui lima konsep kemampuan dan daya manusia, yaitu: (1) daya vegetatif atau kemampuan tumbuh berkembang (al-quwwat al-ghadziyah), (2) daya mengindra (al-quwwah al-hassah), (3) daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), (4) daya berpikir (al-quwwat al-nâthiqah), dan (5) daya rasa (al-quwwah al-tarwi`iyyah). Kelima kemampuan atau daya yang ada pada diri manusia, menurut al-Farabi memiliki berbagai macam daya yang akan menghantarkan dirinya sebagai manusia yang sehat dalam kehidupannya, yang diperoleh melalui tiga daya yang dimiliki, yaitu; daya indra (al-quwwah al-hassah), daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), dan daya pikir (al-quwwah al-nâthiqah), yang masing-masing disebut sebagai indra eksternal, indra internal dan intelek (M. Bahrun Amiq dan Miftahus Surur, 2011).
Ketiga macam indra tersebut merupakan sarana utama dalam pencapaian kemajuan dalam pengembangan kepribadian (personality) manusia. Kemudian, terkait dengan konsentrasi kognisi, al-Farabi menjelaskan melalui enam macam kajian kognisi yang meliputi: (1) cerdas atau cerdik (perceptive), maksudnya kognisi sebagai kesepakatan umum, yakni: dimiliki oleh semua orang, (2) intelek, kognisi ini dimaksudkan oleh difungsikan untuk membenarkan atau menolak pendapat tertentu (untuk mengukur kemasuk-akalan atau kerasionalan), (3) kognisi yang disebut habitual action, Kognisi ini mengantarkan manusia untuk mengetahui prinsip-prinsip pembuktian (demonstration) secara intuitif, (4) kognisi akal praktis (berpikir praktis), yakni kognisi hasil pergumulan panjang manusia yang memberinya kesadaran tentang tindakan yang patut dipilih atau dihindari, dan (5) kognisi sebagaimana yang dibahas oleh Aristoteles, yang meliputi empat macam konsep: Akal potensial (al-`aql bi al-quwwah), intelek aktual (al-`aql bi al-fi`l), akal perolehan (al-aql al-mustafâd), dan akal aktif (al-`aql al-fa`âl), (6) metafisika, kognisi yang disebut oleh Aristoteles sebagai alat untuk berpikir dan berswacita mengenai dirinya sendiri.
Selain itu, al-Farabi mencoba memilah jiwa menjadi tiga macam. Pertama daya gerak, seperti halnya gerak untuk makan, gerak untuk memelihara sesuatu, dan gerak untuk berkembang biak. Kedua, daya mengetahui seperti mengetahui dalam merasa dan mengetahui dalam berimajinasi. Ketiga, daya berpikir yang yang dibagi ke dalam akal praktis dan akal teoretis (Hasyimsyah Nasution, 2005).
Akal teoretis terbagi ke dalam tiga tingkatan yaitu: (a) akal potensial adalah akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti; melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya, (b) akal aktual, adalah akal yang telah dapat melepaskan diri dari materinya, dan arti-arti ini telah memiliki wujud dalam akal yang sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi dalam bentuk aktual, (c) akal mustafad adalah akal yang telah dapat mempunyai kesanggupan menggunakan komunikasi dengan akal 10, yaitu akal yang dapat menjangkau tentang keberadaan Tuhan.
Tentang akal praktis dan teoretis, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, di mana akal praktis memiliki fungsi untuk menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan oleh seseorang. Adapun akal teoretis berfungsi untuk membantu dalam menyempurnakan jiwa. Selanjutnya akal teoretis dibagi lagi menjadi tiga macam. Pertama, akal potensial atau akal fisik (materiel). Akal ini dapat menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Kedua, akal aktual, akal biasa (habitual). Akal ini dapat menangkap makna-makna dan konsep-konsep belaka. Ketiga, akal mustafad, akal yang diperoleh acquired, yaitu suatu akal yang mampu mengadakan komunikasi dengan Sang Pencipta.
Konsep kebahagiaan menurut al-Farabi, akan terwujud apabila jiwanya sudah sempurna. Salah satu indikasi kesempurnaan jiwa ialah apabila ia sudah tidak lagi terpaku pada materi (Mahera, 2011). Pengertian kebahagiaan menurut al-Farabi kebahagiaan mengandung kelezatan yakni kelezatan jasmani dan akal. Kelezatan jasmani hanya sebentar, mudah diperoleh, dan cepat hilang. Adapun kelezatan akal awet dan inilah tujuan hidup hakiki manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia perlu mengembangkan daya pikir yang benar, agar mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah, serta punya kemauan keras. Terutama memiliki keutamaan sebagai hasil yang diperoleh dari pemikiran teoretis, pemikiran praktis, sikap mental yang benar dan melakukan perbuatan yang benar (Hasyimsyah Nasution, 2005).
Penderitaan hidup yang akan datang, di pihak lain, mengandung arti tekanan atau siksaan yang menyertai rasa sakit yang tidak ada akhirnya karena kerinduannya akan kesenangan jasmani akan menimpa jiwa yang tidak patuh. Sebab sekalipun mereka mengambil bagian keutamaan teoretis, namun jiwa-jiwa itu terseret ke dalam oleh kesukaan materiil, yang menghalangi mereka untuk menjalankan profesi intelektual mereka, dan sekarang dalam keadaan hidup tanpa wujud, mereka terus-menerus akan menderita keinginan-keinginan yang telah dipenuhi kesenangan-kesenangan indrawi ketika mereka bersatu dengan tubuh, dan penderitaan mereka akan bertambah ketika mereka digabungkan dengan kelompok jiwa yang tidak patuh yang meninggalkan dunia ini. Untuk itu, kata al-Farabi diperlukan pengetahuan tentang kebahagiaan sejati sebagai prasyarat memperoleh kebahagiaan abadi, dan juga sebagai prasyarat kelangsungan hidup yang nyata setelah mati (Hasyimsyah Nasution, 2005).