Jangan Pisahkan Akhlak dari Agama; Catatan Atas Buku Fenomena Beragama
April 5, 2021Artikel ini sudah dimuat di Bincang Syariah.
Buku Fenomena Beragama, Dari Dunia Arab Hingga Asia Pasifik ini menggambarkan tentang pengalaman-pengalaman penulis ketika melihat fenomena beragama di beberapa negara. Mulai dari dunia Arab hingga Asia Pasifik selalu dipenuhi dengan cerita menyedihkan dan menakutkan. Seakan-akan tidak ada cara lain untuk membuka ruang dialog demi tercapainya sebuah perdamaian dan keamanan bersama.
Kehadiran buku ini tentunya sangat penting mengingat umat Islam yang saat ini berjumlah sekitar 1,6 miliar, atau 23 persen dari total penduduk dunia yang berjumlah sekitar 6,9 miliar tersebut seringkali bikin keruh suasana. Artikel penulis di dalam ini banyak lebih banyak berisi kritik terhadap pemangku agama yang sering memberhalakan institusi agama sembari menafikan nilai-nilai ketuhanan.
Umat Islam seharusnya memerankan fungsinya sebagai Khalifah di muka bumi dengan kehadirannya sebagai rujukan bukan hanya dalam pembumian etik-moralitas luhur, tapi juga dalam pengembangan peradaban yang lebih berwajah manusiawi dan menjanjikan bagi masa depan yang lebih baik, realitasnya di lapangan ternyata tidak demikian. Mereka berusaha ingin menjalin hubungan dengan Allah, sehingga perilakunya terkadang jauh dari kearifan dan kebijaksanaan.
Dalam catatan Prof. KH. Abd A’la dalam bukunya “Ijtihad Islam Nusantara“, bahwasanya di beberapa negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, seperti Sudan, Syria dan Irak, konflik dan kekerasan dalam beragam bentuknya justru menjadi fenomena kehidupan sehari-hari mereka (Abd A’la, 2018: 1-2). Hal ini bertolakbelakang dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam melalui paran para Nabi.
Melalui buku Prof. Azyumardi Azra ini kita akan melihat bahwa negara asing seperti Jepang yang dikenal sebagai negara yang sekuler pun, di mana pemerintah menurut hukum tidak boleh mendanai program terkait dengan lembaga yang membawa nama agama, saat itu sudah bisa memahami begitu pentingnya menjalin hubungan bilateral dan kerjasama serta membentuk iklim keamanan bersama antar negara dan agama. Seperti, sudah banyak orang Jepang yang belajar terhadap Islam tentang kedisiplinan, kebersihan, dan kerajinan belajar. Ini adalah sebuah keberhasilan luar biasa sekali.
Meskipun fokus kajian buku ini adalah sejarah tetapi nilai-nilai tasawuf dalam artikel ini tampak sekali. Saya sendiri melihat bahwa penulis buku ini di setiap penutup dari tiap-tiap artikel tersebut lebih menekankan pentingnya kontekstualisasi moralitas luhur tersebut.
Menurut KH. M.A. Sahal Mahfudz bahwa nilai iman atas dasar makrifat adalah yang paling kuat dan tinggi, karena dengan makrifat sulit iman seseorang dapat digoyahkan atau diragukan oleh unsur-unsur dari luar yang bertentangan dengan nilai-nilai nurani. (Baca: Biografi K.H. Ahmad Sahal Mahfudz: Fikih Sosial sebagai Instrumen Pemberdayaan Masyarakat)
Esensi Risalah Nabi Muhammad Saw adalah Keteladanan
Kita bisa mengambil pelajaran dari beberapa sajian yang disuguhkan Prof. Azyumardi dalam buku ini. Azyumardi melihat bahwa fenomena kekerasan yang marak terjadi di beberapa negara adalah merupakan bentuk kegagalan dari kelompok mainstream Islam dalam mencerna esensi risalah yang dibawakan oleh para utusan. Padahal tujuan risalah ini, menurut Azyumardi, adalah bukan untuk menebarkan kerusuhan melainkan bagaimana mereka bisa menunjukkan Islam sebagai agama Rahmatan Lil Alamin.
Sebagian besar yang membuat kerusuhan tersebut pada dasarnya mereka belum mengerti esensi dari risalah ini. Esensi risalah pada hakikatnya adalah bukan sebagai sistem aturan melainkan sebuah keteladanan. Kalau saja agama sebagai sistem aturan yang dimaksudkan Tuhan dalam risalah Muhammad Saw, menurut Nursamad Kamba, niscaya bukan keteladanan sebagai porosnya melainkan komitmen kolektif sedangkan komitmen kolektif membutuhkan otoritas untuk menjaga dan merawatnya.
Buku yang ditulis oleh pakar sejarah dan pernah menjabat sebagai rektor di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini sangat cocok untuk dijadikan sebagai bahan referensi bagi kita semua. Di dalamnya disajikan bagaimana cara memahami Islam sehingga gagasan risalah Nabi Muhammad yang merangkum nilai-nilai etik dan moralitas luhur itu dapat menjadi pondasi utama dalam segala sikap, termasuk dalam konstruksi politik umat.
Kalau kita perhatikan bahwa buku ini sebenarnya mengajarkan kita betapa pentingnya membangun umat yang berkarakter, inklusif, toleran, moderat dan mampu hidup bersama.
Di samping itu, juga mengajarkan kita tentang etika berdakwah yang menyejukkan itu. Ayat Alquran yang berbunyi, ‘Ud’u ila sabili rabbika bil-hikmati wal-mau’dzatil hasanati…, menurut Azyumardi Azra telah cukup jelas memerintahkan kepada kita agar berdakwah dengan memberikan pengajaran yang baik, dengan hikmah dan bijaksana.
Tapi kenyataannya banyak yang berdakwah namun tidak dengan cara demikian tersebut, yaitu dengan cara yang tidak bijak, tidak baik, dengan memaksa dan lain sebagainya. Terjadinya disparitas di sini, menurutnya, karena pemahaman kepada ayat-ayat seperti itu juga dipengaruhi oleh perspektif yang lain dari orang yang memahaminya dan lingkungannya. Maka dari itu, ketika terjadi perbedaan dan atau cara pandang yang berbeda-beda dalam menalar ayat-ayat Allah tersebut, seperti tertera pada cover belakang buku ini, kita dituntut harus lebih waspada dan memperbanyak membangun komonalitas atau kata bersama (common word) dari pada membesar-besarkan perbedaan.