Kategori: Artikel

TEORI DAN ARGUMENTASI PENENTUAN MAKKIYAH DAN MADANIYAH

Empat pendekatan untuk menentukan ayat-ayat kategori makkiyah dan madaniyah yang dikemukakan ulama tafsir dapat pula dijadikan teori-teori penentuan ayat atau surah-surah Al-Qur’an makkiyah dan madaniyah. Keempat teori itu mempunyai kelebihan dan kelemahan, dipaparkan untuk mengetahui teori yang paling kondusif sebagai dasar penentuan dan klasifikasi ayat dan/atau surah pada dua kategori itu. Layaknya sebuah teori dengan kebenaran relatifnya, teori-teori ini dapat berubah dan dikritik (qābil li al-taghyīr wa al-niqāsy) jika ditemukan data yang bertentangan dengan pernyataan dalam teori.

Terdapat 4 teori yaitu :

1. Teori geografis

2. teori subjektif (mulāhaẓah al-mukhāṭabīn fī al-nuzūl),

3. teori historis (mulāhaẓah zamān al-nuzūl)

4. teori isi atau content analysis (mulāhaẓah mā taḍamanah al-suwār wa al-āyāt)

Pertama, teori geografis (mulāhaẓah makān al-nuzūl), sebuah teori yang menekankan klasifikasi ayat Al-Qur’an berdasar tempat-tempatturun. Teori ini menjadikan Mekkah dan Madinah sebagai area sentral pembagian ayat-ayat itu. Oleh Ṣubhī al-Ṣālih, teori ini disebut tahdīd makānī,52 teori penentuan makkiyah dan madaniyah dengan membatasi pada letak geografis turunnya surah atau ayat Al-Qur’an. Menurut teori ini, surah atau ayat makkiyah adalah surah atau ayat yang turun di Mekkah dan sekitarnya yang turun sebelum Nabi Muhammad hijrah atau sesudahnya. Termasuk kategori ini adalah surah atau ayat-ayat yang turun ketika Nabi di Mina, ‘Arāfah, Hudaibiyah, dan sebagainya. Berbeda dengan itu, surah atau ayat madaniyah adalah surah atau ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya termasuk yang turun ketika Nabi di Badar, Quba, Uhūd, dan lain-lain. Teori ini sejalan dengan definisi ayat atau surah makkiyah dan madaniyah di atas.

Kelebihan teori ini adalah rumusan pengertian makkiyahmadaniyah tegas dan jelas, yaitu ayat atau surah disebut makkiyah jika turun di Mekkah baik sebelum atau sesudah Nabi hijrah. Konsepsi makkiyah tidak berubah oleh interval waktu kepindahan Nabi dari Mekkah ke Madinah yang kemudian dijadikan sebagai awal kalender Islam (kalender Hijriyah) yang dimulai semenjak 622 M. Setiap ayat yang turun di Mekkah dan sekitarnya disebut makkiyah. Konsep ini berbeda dengan rumusan teori lain, misalnya teori historis yang menekankan makkiyah dan madaniyah pada peristiwa hijrah yang berimplikasi pada setiap surah atau ayat yang turun sesudah hijrah dinamakan madaniyah meskipun turun di Mekkah dan sekitarnya.

Kelemahan teori geografis adalah rumusannya tidak bisa dijadikan standar dan batasan secara definitif. Rumusan itu belum mencakup seluruh  ayat Al-Qur’an (jāmi’) karena tidak seluruhnya turun di Mekkahdan sekitarnya atau di Madinah dan sekitarnya. Limitasi pada dua tempat itu menjadi bias sebab pada kenyataannya ada beberapa ayat yang turun di luar kedua daerah itu, misalnya dua ayat berikut:

Dan kalau yang kamu serukan (kepada mereka) itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak jauh, tentu mereka akan mengikuti kamu. Akan tetapi, tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah, ‘Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersamamu’. Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. (QS. 9/al- Tawbah: 42)

Dan tanyakan kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu, adakah Kami menentukan Tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah yang Maha Pemurah? (QS. 43/al-Zukhrūf: 45)

Ayat pertama diturunkan di Tābuk, daerah yang jauh dari Mekkah atau Madinah. Kesulitan muncul ketika ayat di atas akan dimasukkanpada kategori mana; apakah kategori ayat makkiyah atau madaniyah. Jika dimasukkan pada kategori makkiyah, Tābuk tidak termasuk wilayah Mekkah demikian pula tidak bisa dimasukkan pada kategori madaniyah karena Tābuk bukan wilayah Madinah.

Ayat kedua turun di Baitul Maqdis, Palestina, malam peristiwa Isrā’ Mi’raj. Ayat ini tidak dapat dimasukkan pada kategori makkiyah atau madaniyah berdasar teori geografis sebab Palestina jauh dari Mekkah  atau Madinah. Mengklaim daerah ini sebagai bagian kedua kota itu merupakan kesalahan dan tidak mempunyai dasar argumentasi kuat kareBAB na tidak benar secara korespondensi. Dengan kata lain, teori ini hanya mencakup surah dan/atau ayat yang turun di Mekkah, Madinah, dan sekitarnya saja serta tidak mencakup ayat yang turun di luar kedua kota itu, dan sekitarnya. Surah atau ayat yang turun di luar keduanya tidak dimasukkan dalam dua kategori klasifikasi. Karena tidak ada kategori ketiga di luar dua kategori itu, maka terdapat kesulitan memasukkan dua ayat dan ayat-ayat lain pada klasifikasi berdasar teori geografis.

AYAT-AYAT NIDÂ’ DALAM AL-QUR’AN

Buku yang sedang di tangan pembaca ini merupakan hasil sebuah riset yang diharapkan dapat menambah nuansa ilmiah yang lebih beragam. Dengan fokus pada ayat-ayat nidā’ dalam Al-Qur’an, kajian melibatkan pendekatan semantik, sintaksis Arab, sejarah, dan filsafat. Buku ini mempunyai nuansa yang agak berbeda dengan materi dalam ilmu Al-Qur’an meskipun secara umum teori-teorinya berasal darinya. Hampir seluruh kajian diperoleh dari hasil eksplorasi terhadap eksistensi ayat-ayat nidā’ yang tersebar dalam seluruh ayat Al-Qur’an dengan beragam bentuk redaksi, indikasi dan orientasi, aktor pelaku, audiens, serta klasifikasinya.

Dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang berjumlah 6.236 buah, ayat yang mengandung panggilan (nidā’) sekitar 527 buah. Meskipun dengan jumlah yang realtif sedikit yaitu 527/6.236 x 100% = 8,45% dan masih lebah banyak ayat-ayat yang tidak mengandung nida’ yaitu 91,55% yang berarti kurang dari 1/10 ayat-ayat Al-Qur’an, ayat-ayat nidā’ mempunyai karakteristik dan nuansa tersendiri berbeda dengan ayat-ayat lain. Hal ini dikarenakan ayat-ayat kategori ini melibatkan setidaknya  tiga komponen, dua di antaranya sebagai aktor (actant), yaitu pembicara dan audien dan yang ketiga materi pembicaraan. Melalui dialog yang tergambar dalam ayat-ayat tersebut, kita dapat mengetahui komunikasi antara pembicara (muta-kallim) dan audiens (munādā) dalam ayat-ayat itu dengan beragam maksud dan tujuannya.

Dalam beberapa ayat, Allah berfirman sembari memanggil manusia dan makhluk lain dan pada beberapa ayat lain, manusia dan makhluk lain memanggil dan berdoa serta mengeluh kepada-Nya. Makhluk-makhluk lain yang terlibat dalam dialog itu adalah burung, semut, gunung, langit, dan bumi (makhluk jasmani) dan malaikat, jin, dan Iblis (makhluk rohani). Mereka saling mengutarakan keinginan, harapan, pendapat, keyakinan, tuntutan, doa, penolakan, keluhan, imbauan, dan sebagainya.

Dialog melibatkan laki-laki seperti nabi-nabi (Adam, Nūh, Hūd, Ṣāleh, Ibrāhīm, Ismā’īl, Lūṭ, Ya’qūb, Yūsuf, Syu’aib, Mūsā, Zakariyā, Yahyā, ‘Isā, dan Muhammad), Lukmān Hākim, Azār, Fir’aun, Hāman, Sāmirī, tukang sihir, pembesar (raja) Mesir, Zulkarnaen, pelayan istana Mesir, dan pria masa Nabi Mūsā juga wanita seperti Hawa, istri ‘Imrān, Maryam, ratu Bulkis, dan putri Syu’aib. Di samping itu, komunitas tertentu seperti komunitas para nabi termasuk umat Islam, tentara Ṭālūt, Bani Israil, Ahli Kitab, komunitas kafir, orang-orang bodoh, orang-orang tersesat, dan orang-orang jahat juga terlibat dialog dalam ayat-ayat nidā’ baik sebagai pembicara maupun audiens. Jiwa yang tenang juga menjadi pihak yang terlibat dalam ayat nidā’ dalam kapasitasnya sebagai audiens.

Secara klasifikatif, ayat-ayat nidā’ dengan huruf nidā’ tidak tercantum  sebanyak 160 (30,36%), yang huruf nidā’-nya tercantum sebanyak 367 (69,63%). Ayat-ayat jenis ini dengan munādā mufrād sekitar 250 (47,43%), dengan munādā muḍāf kurang lebih 277 buah (52,56%), dengan munādā yang didahului ayyu sebanyak 153 (29,03%), dan dengan munādā tidak tercantum sekitar 27 buah (5,12%). Dari ayat-ayat makkiyah yang berjumlah 4.613 yang mengandung nidā’ terdapat sebanyak 304 dan ayat-ayat madaniyah yang berjumlah 1.623 yang mengandung nidā’ sebanyak 223 buah.

Disadari bahwa buku ini masih dimungkinkan mengandung kekurangan dan memerlukan kritik serta kajian lebih dalam mengingat  ayat-ayat nidā’ tersebar dalam hampir seluruh surah Al-Qur’an yang berjumlah 114. Karena itu, kritik dan saran yang sifatnya konstruktif diharapkan untuk penyempurnaannya. Sejauh yang penulis telusuri, belum ada penelitian atau karya ilmiah yang mengkaji tentang ayat-ayat nidā’ selengkap dan sespesifik buku ini. Kepada semua pihak yang telah berjasa dalam penulisan dan terbitnya buku ini disampaikan banyak terima kasih. Semoga buku ini bermanfaat bagi penulis sebagai amal jariyah untuk kehidupan dunia dan akhirat, serta bermanfaat pula bagi pengembangan ilmu pengetahuan keislaman. Amīn ya Rabb al-‘Alamīn.

Daftar isi

BAB 1 PENDAHULUAN 1

BAB 2 EKSISTENSI AYAT AL-QUR’AN 9

A. Pendekatan Semantik 9

B. Pendekatan Terminologis 28

C. Pendekatan Kuantitas Ayat 31

D. Faktor Penyebab Perbedaan Penghitungan 33

BAB 3 KLASIFIKASI AYAT MAKKIYAH DAN MADANIYAH 43

A. Definisi Ayat Makkiyah dan Madaniyah 43

B. Teori dan Argumentasi Penentuan Makkiyah dan Madaniyah 47

C. Karakteristik Ayat Makkiyah dan Madaniyah 54

D. Kategorisasi dan Jumlah Ayat Makkiyah – Madaniyah 71

BAB 4 AYAT NIDĀ’ DALAM AL-QUR‘AN 77

A. Makna Semantik 77

B. Pengertian Sintaksis dan Terminologis 87

C. Bentuk Ayat Nidā’ 89

1. Pendekatan Huruf Nidā’ (Interjeksi) 91

2. Pendekatan Audiens (Munādā dan Mukhāthab) 95

BAB 5 ORIENTASI DAN JUMLAH AYAT NIDĀ’ 105

A. Orientasi (Khithāb) Ayat Nidā’ 105

B. Jumlah Ayat Nidā’ 114

BAB 6 KLASIFIKASI AYAT NIDĀ’ 119

A. Bentuk Redaksi Ayat Nidā’ 119

1. Ayat Nidā’ dengan Huruf Nidā’ Tidak Tercantum 119

2. Ayat Nidā’ dengan Huruf Nidā’ Tercantum 121

3. Ayat Nidā’ dengan Munādā Mufrad 126

4. Ayat Nidā’ dengan Munādā Mudhāf 130

5. Ayat Nidā’ dengan Munādā yang Didahului Ayyu 133

6. Ayat Nidā’ dengan Munādā Tidak Tercantum 135

B. Klasifikasi Makkiyah dan Madaniyah 136

1. Klasifikasi Ayat Nidā’ Makkiyah 136

2. Klasifikasi Ayat Nidā’ Madaniyah 141

C. Persentase Ayat Nidā’ dengan Seluruh Ayat Al-Qur’an 144

BAB 7 ORIENTASI DAN INDIKASI AYAT NIDĀ’ 147

BAB 8 PEMBICARA AYAT NIDĀ’ 169

A. Allah Pemfirman Ayat Nidā’ 173

B. Makhluk Pembicara Ayat Nidā’ 176

1. Manusia Secara Umum 176

2. Manusia dalam Komunitas Tertentu 185

3. Individu Tertentu 257

4. Makhluk Nonmanusia 268

BAB 9 AUDIENS DAN IDE (PESAN) AYAT NIDĀ’ 275

A. Allah Audiens (Munādā) Ayat Nidā’ 278

B. Makhluk Audiens Ayat Nidā’ 286

1. Manusia Secara Umum 286

2. Kelompok Manusia Tertentu 291

3. Manusia Secara Individu 306

4. Makhluk Nonmanusia 332

DAFTAR PUSTAKA 339

PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI TIPU DAYA PADA KONTRAK BISNIS

Untuk adanya tipu daya tidak disyaratkan bahwa debitur mempunyai tujuan untuk merugikan krediturnya, akan tetapi sudah cukup, jika ia secara sadar (willens en wetens) melang­gar kewajiban kontraktualnya. Dalam Pasal 378 KUHP unsur deliknya, meliputi:

  1. dengan (sengaja) maksud;
  2. hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain de­ngan melawan hukum;
  3. memakai nama palsu atau keadaan palsu, akal atau tipu muslihat, rangkaian kata bohong; dan
  4. membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang.

Untuk menentukan kesengajaan tidaklah mudah karena terkait dengan menentukan niat batin si pelaku, dalam teori bentuk kesengajaan meliputi tiga hal, yaitu:

a.         kesengajaan dengan maksud;

b.         kesengajaan dengan kepastian/keharusan; dan

c.         kesengajaan dengan kemungkinan (doluseventualis).

Karena di dalam Pasal 378 KUHP dinyatakan dengan mak­sud, maka kesengajaan tersebut meliputi bentuk kesengajaan yang pertama (kesengajaan dengan maksud). Oleh karenanya di dalam penipuan tidak dapat dinyatakan perbuatan tersebut dilakukan karena lalai (kulfa).

Untuk unsur- ­unsur perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) harus terkait dengan berlakunya asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP). Perbuatan seseorang dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum jika bertentangan dengan undang-­undang (legislasi). Bagaimana konsep “memakai nama palsu atau keadaan palsu, akal atau tipu muslihat, rangkaian kata bohong” dapat disejajarkan dengan tipu daya (arglistig) seba­gaimana dimaksud dalam Pasal 1247 BW. Konsep “memakai nama palsu atau keadaan palsu, akal atau tipu muslihat, rang­kaian kata bohong” dengan konsep “tipu daya” adalah sama karena kedua konsep tersebut pada dasarnya mempunyai pengertian pihak lain diperdaya untuk melakukan sesuatu dan bilamana mengetahui keadaan yang sebenarnya dapat dipasti­kan pihak tersebut tidak akan melakukan.

Untuk dinyatakan telah terjadi penipuan jika cara membe­rikan martabat palsu/nama palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan harus menimbulkan piutang, menghapuskan piu­tang, atau menimbulkan hak; pendek kata dengan “tipu daya” akan menimbulkan kerugian atau harus ada “condition sine qua non” antara tipu daya dan kerugian.

Berkaitan dengan konsep penipuan dan wanprestasi perlu kajian dan penelitian, untuk mengetahui secara jelas konsep hu­kum wanprestasi dan penipuan. Blacks Law Dictionary meng­artikan penelitian hukum (legal research) sebagai:

(1). the finding and assembling of authorities that bear on a  question of lawa; (2). the field of concerned with the effective marshaling of authorities that bear on a question of law.

Kajian yang dilakukan mengarahkan analisis terhadap latar belakang dan dinamika tentang konsep wanprestasi dan peni­puan, sebagai kajian hukum dalam kegiatan akademis, dimak­sudkan untuk membedakan dengan kajian hukum dalam kait­annya dengan kajian hukum yang bersifat praktis, sebagaimana ditulis oleh Peter Mahmud Marzuki karena bahwa penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-­prinsip hukum, maupun doktrin­doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.

Berkaitan dengan kajian hukum (legal research) ini dilaku­kan dengan metode yang disesuaikan dengan karakter yang khas dari ilmu hukum (jurisprudence) yang berbeda dengan ilmu sosial (social science) atau ilmu alam (natural science)

Buku ini bertujuan untuk memberikan suatu rekomenda­si kepada aparat penegak hukum dalam penanganan perkara yang terkait dengan persoalan wanprestasi dan penipuan, maka penulisan ini termasuk law reform research. Dalam penulisan ini menggunakan penelitian normatif dengan pendekatan per­aturan perundang­undangan (statute approach), pendekatan konsep (conseptual approach), dan pendekatan kasus (case ap-proach).

Pendekatan yang utama dalam penulisan ini adalah pen­dekatan peraturan perundang-­undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach) dan dibantu de­ngan pendekatan kasus (case approach), hal tersebut mengingat pendekatan perundang­undangan (statute approach) dan pen­dekatan konsep (conceptual approach) mempunyai sifat yang masih abstrak. Kajian ini hendak melakukan kajian yang men­dalam tentang konsep dan penerapan kewenangan diskresi ke­polisian dalam proses penegakan hukum.

Pendekatan yang dipergunakan merupakan kombinasi an­tara statute approach, conceptual approach, dan case approach. Pendekatan konsep dilakukan untuk menganalisis dan mema­hami adalah mencari hakikat atas konsep wanprestasi dan kon­sep penipuan (statute approach) dan pendapat pakar hukum perdata dan hukum pidana (doktrin). Mengingat konsep wan­prestasi merupakan “domain” hukum perdata dan konsep “peni­puan” merupakan “domain” hukum pidana, maka pada langkah kedua ini adalah mencari dan menemukan konsep wanprestasi dan konsep penipuan dalam hukum perdata dan pidana. Pendekatan kasus (case approach) dengan melakukan ana­lisis terhadap putusan-­putusan pengadilan yang berkaitan de­ngan wanprestasi dan penipuan yang lahir dari hubungan kon­trak komersial. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrscht van gewijsde), maupun putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap namun memiliki per­an yang sangat penting dengan substansi penelitian. Putusan-­putusan pengadilan tersebut merupakan bahan hukum yang bersifat otoritatif dianalisis untuk guna mengetahui bagaimana substansi maupun pertimbangan (ratio decidendi) yang diguna­kan hakim sebagai dasar putusan.

PENTINGNYA MEMPELAJARI KOMUNIKASI KELUARGA

Selama ini, studi komunikasi keluarga lebih banyak dikaji pada lembaga-lembaga pendidikan komunikasi yang berbasis keagamaan, apakah itu agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu, dan Buddha. Kalaupun tidak dalam bentuk matakuliah, minimal berupa aktivitas riset untuk keperluan penulisan skripsi atau tesis. Pertimbangannya, pembinaan keluarga dipandang memiliki nuasa keagamaan sebagai basis pembentukan karakter setiap individu, termasuk dalam membina keluarga yang sakinah (ialah keluarga yang di dalamnya terdapat kedamaian, ketenangan, dan ketenteraman yang dirasakan oleh setiap anggota keluarga), warahma (ialah keluarga yang dijalin atas saling pengertian dan saling memahami satu sama lainnya yang disertai dengan penuh harapan), dan mawaddah (ialah keluarga yang dilandasi atas rasa cinta dan kasih sayang).

Di dalam buku Family Communication: Cohesion and Change yang ditulis oleh Kathleen M. Galvin, dkk (2015) disebutkan bahwa secara historis, pada awalnya studi tentang interaksi keluarga lebih banyak mendapat perhatian ilmiah dari kalangan terapis keluarga, psikolog akademik, dan sosiolog yang mempelajari masalah keluarga di tingkat makro. Hanya sejumlah kecil sarjana komunikasi yang melakukan penelitian di bidang keluarga. Alasannya para sarjana komunikasi lebih banyak tertarik pada studi komunikasi massa seperti jurnalistik dan penyiaran radio dan televisi yang booming selama tiga dekade mulai 1970 hingga 2000.

Saat ini, beberapa perguruan tinggi komunikasi sudah mulai mena­warkan matakuliah Komunikasi Keluarga, baik di tingkat sarjana maupun pascasarjana. Bidang ini telah berkembang dari dari 1930-an ketika masalah-masalah perkawinan mulai mendominasi agenda penelitian di lembaga-lembaga pendidikan ilmu sosial dan keagamaan, hingga saat ini ketika para peneliti dan akademisi membahas interaksi manusia dalam berbagai bentuk, termasuk interaksi suami-istri dalam rumah tangga. Hal ini diperkuat dengan hadirnya jurnal penelitian yang dikhususkan untuk komunikasi keluarga. Sekarang, ada kecederungan mahasiswa yang mengikuti matakuliah komunikasi keluarga dan para sarjana yang meneliti tentang hal ini menunjukkan tren semakin tinggi, termasuk para terapis keluarga, psikolog akademik, dan sosiolog dengan memakai pendekatan dan teori-teori yang dikembangkan dalam bidang komunikasi keluarga.

Studi Komunikasi Keluarga sebagai kajian ilmiah perlu diajarkan dan dipelajari bukan saja dalam arti kebutuhan seseorang untuk membangun keluarga yang bahagia dan harmonis, tetapi juga perkembangan dalam lima tahun terakhir di mana angka-angka perceraian antara suami dan istri makin meningkat di hampir semua negara. Suatu perubahan yang sangat signifikan makin goyangnya kehidupan keluarga akibat keretakan rumah tangga, bukan saja dalam bentuk gangguan kejiwaan dari pelaku perceraian, tetapi juga goncangan kejiwaan anak-anak mereka akibat putusnya hubungan kedua orang tuanya, serta terganggunya pengembangan karier masing-masing pelaku perceraian.

Karena itu studi komunikasi yang selalu menekankan perlunya saling pengertian, keterbukaan, rasa empatik dan simpati menjadi perlu dipelajari untuk menciptakan keluarga yang harmonis dan bahagia. Premis dasar proses komunikasi ialah menciptakan saling pengertian dalam keluarga. Penulis percaya bahwa setiap keluarga akan berada dalam posisi terbaik untuk membuat pilihan mereka sendiri tentang komunikasi dalam keluarga. Namun pembelajaran tentang teori-teori maupun petunjuk-petunjuk praktis komunikasi yang dibangun berdasarkan pengalaman dan pembacaan, dapat menjadi rujukan para keluarga yang bermasalah untuk mendapatkan solusi.

Ada beberapa landasan pemikiran, mengapa masalah keluarga bisa dikaji dari perspektif komunikasi, antara lain:

1. Tidak ada keluarga yang “sempurna”, karena keluarga ter ben tuk dari suatu upaya untuk menciptakan identitasnya sen­diri dari masa indah ke masa penuh tantangan yang bisa mengancam keretakan rumah tangga.

2. Komunikasi berfungsi untuk membangun sekaligus mem bentuk cerminan jati diri sebuah keluarga.

3.     Komunikasi berfungsi sebagai proses di mana setiap anggota keluarga bisa menciptakan dan berbagi informasi yang punya makna satu sama lain.

4. Keluarga memiliki fungsi sosialisasi dari suatu generasi ke generasi berikutnya mengenai nilai dan keyakinan mendasar tentang kehidupan yang signifikan, misalnya cinta, kesehatan, gender, agama, norma, tetangga, dan lingkungan komunitas.

5. Saat ini, komposisi keluarga tidak lagi berasal dari keluarga sendiri, melainkan bisa saja datang dari berbagai etnis dan bangsa akibat mobilitas manusia yang makin tinggi, baik yang difasilitasi oleh sarana transportasi maupun melalui sarana teknologi komunikasi dan informasi.

6. Setiap anggota keluarga perlu belajar memahami latar belakang ka-rakter, budaya, nilai dan kebiasaan sesama ke luarga maupun dengan orang lain. Sebab tidak mu dah memahami sesuatu yang berbeda, namun untuk menye suaikan hal itu bisa karena biasa.

7. Dalam memlihara komunikasi yang baik antar-sesama ke luarga, diperlukan kemampuan untuk mengembangkan ka pasitas (capacity building) agar bisa beradaptasi, menciptakan jaringan, dan mengelola konflik. Dengan cara seperti itu, pada akhirnya setiap anggota keluarga akan mengenal dirinya sebelum mengenal orang lain.

8. Kita perlu memahami komunikasi keluarga sebagai sistem dengan mempelajari konsep-konsep kunci komunikasi, termasuk faktor-faktor yang memengaruhi daya tahan suatu keluarga. Komunikasi memang bukan segalanya, namun tanpa komunikasi maka akan sulit diciptakan keharmonisan dalam keluarga.

Buku ini terdiri atas sepuluh bab, diawali Bab Pertama Pendahuluan yang berisi pentingnya komunikasi keluarga dipelajari oleh setiap orang. Bab kedua membahas tentang pengertian konsep-konsep komunikasi keluarga serta teori-teori komunikasi keluarga yang yang mendukungnya. Bab ketiga berisi hakikat dan manfaat perkawinan, serta perkawinan ditinjau dari perspektif setiap agama. Bab keempat menguraikan tentang keluarga dalam perspektif kajian ilmu pengetahuan, Bab kelima membahas teknologi komunikasi dan informasi, khususnya internet dan media sosial sebagai peradaban baru dalam hubungan antarmanusia dalam era kekinian, serta peralatan-peralatan yang bisa digunakan untuk melacak dan merekam keberadaan pasangan sebagai upaya mengurangi perselingkungan dan perceraian keluarga.

Bab keenam membahas tentang keluarga yang harmonis, kemudian disusul keluarga yang tidak harmonis dipaparkan dalam Bab ketujuh. Selanjutnya uraian yang membahas tentang ketahanan keluarga yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam menghadapi konflik dan ketidakmampuan menemukan solusi, dituangkan dalam Bab delapan. Buku ini menawarkan solusi penggunaan komunikasi yang terbuka dan sambung rasa dalam menciptakan keluarga yang harmonis sebagaimana diuraikan dalam Bab sembilan, dan terakhir Bab sepuluh memberikan informasi profesi mana yang layak dilakoni oleh para penggiat atau para sarjana yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam bidang komunikasi keluarga.

SEJARAH HOAKS DALAM ISLAM

Berita hoaks itu muncul bersamaan dengan peristiwa sejarah Islam. Hoaks pernah muncul sehabis perang dengan Bani Musthaliq di bulan Syakban 5 Hijriah. Perang tersebut diikuti oleh Nabi dan Aisyah, istri Nabi; serta kaum munafik.

Persepsi muncul ketika rombongan Nabi melihat Aisyah datang bersama Shafwan. Oleh kaum munafik, situasi tersebut dibuat berita hoaks. Tidak memakan waktu lama, berita Aisyah dan Shafwan tersebar sehingga menimbulkan keguncangan di kalangan kaum muslimin. Dari kisah tersebut, Allah menurunkan firman melalui surah an-Nur: 11-12 dan an-Nur: 19. Ayat itu menerangkan mereka yang menyebarkan berita bohong akan mendapatkan siksa yang amat pedih. Berita bohong atau hoaks tumbuh subur mewarnai dinamika masyarakat Indonesia dewasa ini. Penyebarannya yang cepat dan luas terutama  melalui media sosial cukup mencemaskan. Hoaks memang bisa ada di mana saja dan sudah ada sejak dulu. Namun, berkembangnya hoaks di negeri ini terasa memprihatinkan mengingat masyarakat Indonesia dikenal berbudaya santun dan menjadikan agama sebagai hal yang penting.

Dalam bukunya, Klarifikasi Al-Qur’an Atas Berita Hoax, Idnan A. Idris mencoba menghadirkan pemahaman dan perenungan mengenai fenomena hoaks. Dengan mengambil tinjauan dari sudut  pandang Islam dengan sumber utama Al-Qur’an. Seperti diketahui, hoaks adalah berita bohong atau berita palsu yang sengaja dibuat serta disebarkan untuk menipu dan membelokkan kebenaran. Al-Qur’an memerinci tentang fenomena hoaks dan menganggapnya sebagai masalah penting.

Pada masa Rasulullah kebohongan-kebohongan banyak berasal dari kaum kafir dan Yahudi, meski ada juga orang-orang Islam yang ikut menyebar hoaks dengan berbagai alasan. Atas munculnya berbagai kabar bohong tersebut Allah menurunkan ayat-ayat untuk mengklarifikasi dan menjelaskan keadaan sebenarnya. Di dalam Al-Qur’an ada beberapa istilah yang maknanya bisa dipersamakan dengan hoaks. Salah satunya adalah “ifk” yang berasal dari kata “afika”. Makna “ifk” yaitu memalingkan yang hakikatnya adalah dusta. Istilah “ifk” digunakan untuk menggambarkan hoaks soal perselingkuhan Aisyah. Berita bohong tersebut sangat “viral” pada masanya dan menimbulkan ketidaknyamanan dalam kehidupan Nabi dan sang istri. Istilah berikutnya adalah “kazaba” atau “kadzib” yang bermakna kebohongan atau memberitakan sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta. Ada juga istilah “khud’a” yang artinya menipu atau penipuan, yaitu memalingkan orang lain dari apa yang ada di hadapannya dengan sesuatu yang berbeda. Istilah-istilah lainnya yang maknanya dekat dengan hoaks adalah “iftara”, “fitnah”, “tahrif”, dan “qaul al-zuur” atau kesaksian palsu.

HOAKS DALAM AL-QUR’AN

Hoaks dalam bahasa agama dapat dipahami sebagai usaha memperdaya orang banyak lewat berita bohong (deceive somebody with a hoax); memperdaya sekelompok orang dengan cara membuat orang lain yakin pada berita yang telah dipalsukan. Dalam Al-Qur’an dapat ditemukan sejumlah ayat yang secara eksplisit memberikan tuntunan kepada manusia dalam menyikapi berkembangnya hoaks. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. alHujarat: 6)

Jawad Mugniah dalam at-Tafsîr al-Mubîn menguraikan, bahwa surah al-Hujarat: 6 ini menjelaskan tentang haramnya menerima berita dari orang fasik tanpa melakukan klarifikasi (tabayun) kebenarannya. Datangnya berita dari orang fasik dikhawatirkan akan membahayakan bagi orang lain. Dalam istilah ushul fiqh, ayat ini juga menunjukkan larangan untuk mengikuti tata cara orang-orang fasik. Bersandar pada ayat ini, sebagian ulama juga berargumen kewajiban untuk mengambil berita dari orang yang terpercaya (tsiqah), tanpa harus melakukan klarifikasi terlebih dahulu. Oleh karenanya, dalam kajian ilmu Hadis, sebuah kabar Hadis aĥad yang terpercaya (tsiqah)— Hadis yang diriwayatkan hanya satu orang, tidak secara mutawâtir sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an dapat diterima dan bisa dijadikan sebagai argumen. Ayat ini juga mengajarkan untuk mengenali tanda-tanda orang fasik? Fa-sa-qa atau fasik—sebagaimana disebutkan oleh Ibn Fâris dalam Maqāyis—adalah keluar dari jalur ketaatan. Demikian juga al-Mushtafawî dalam at-Tahqîq fî Kalimât Al-Qurân menjelaskannya, sebagai keluarnya sesuatu dari hal-hal yang disepakati, baik secara agama, akal maupun hukum natural. Tandasnya, merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an maka yang dimaksud sebagai orang fasik adalah orang yang keluar dari ketentuan akal sehat, adab sopan santun dan agama.

Oleh karenanya, sangat sulit menentukan seseorang yang belum kita kenali kredibilitasnya sebagai orang jujur. Melalui QS. al-Hujurat: 6, Allah Swt. memberikan tuntunan kepada kita agar bersikap hati-hati, tidak gegabah dan tidak tergesa-gesa dalam menerima sebuah berita, khususnya jika berita tersebut datang dari seorang yang sudah dikenali kefasikannya. Ayat ini juga mengisyaratkan agar kita selalu melakukan klarifikasi/tabayun saat menerima berita dari orang yang tidak kita kenali. Ayat ini memberikan tuntunan kepada kita agar lebih berhati-hati dalam menerima maupun menyampaikan sebuah berita, apalagi berita tersebut menyalahi beberapa ketentuan yang sudah berlaku/telah disepakati seperti ketentuan akal sehat, adab sopan santun maupun agama. Tuntunan agama agar kita menjadi orang yang lebih cerdas dalam bersikap. Berusaha untuk menyampaikan berita yang benar, bukan bohong (hoax). Implikasi dari kesalahan dalam menerima maupun menyampaikan berita adalah menimbulkan dampak negatif, yakni: merusak sebuah tatanan masyarakat. “Agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Hal ini selaras dengan pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an, yakni, segala kebenaran baik dalam sikap dan tutur kata terliput di dalamnya kabar yang benar akan lebih dekat kepada ketakwaan. Takwa merupakan penyokong kebenaran dalam berucap dan bertutur kata. Ucapan dan tutur kata yang benar akan menjadi salah satu sebab kebaikan tindakan. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS. alAhzab: 70-71)

TEORI-TEORI KEDATANGAN ISLAM DI NUSANTARA

Sejauh menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok: tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok ini jelas belum tuntas, tidak hanya karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada. Terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok, sementara mengabaikan aspek-aspek lainnya. Karena itu, kebanyakan teori yang ada dalam segi-segi tertentu gagal menjelaskan kedatangan Islam, konversi agama yang terjadi, dan proses-proses islamisasi yang terlibat di dalamnya. Bukannya tidak biasa jika suatu teori tertentu tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tandingan yang diajukan teori-teori lain.

Sejumlah sarjana, kebanyakan asal Belanda, memegang teori bahwa asal mula Islam di Nusantara adalah Anak Benua India, bukannya Persia atau Arabia. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel, ahli dari Universitas Leiden.1 Dia mengaitkan asal mula Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang Arab bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.

Teori ini kemudian dikembangkan Snouck Hurgronje yang berhujah, begitu Islam berpijak kukuh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, Muslim Deccan—banyak di antara mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara—datang ke Dunia Melayu-Indonesia sebagai para penyebar Islam pertama. Baru kemudian mereka disusul orang-orang Arab—kebanyakannya keturunan Nabi Muhammad SAW karena menggunakan gelar sayid atau syarîf—yang menyelesaikan penyebaran Islam di Nusantara. Orang-orang Arab ini muncul di Nusantara baik sebagai “pendeta” (priests) maupun sebagai “pendeta-penguasa” (priestprinces) atau sulthân.2Snouck Hurgronje tidak menyebut secara eksplisit dari wilayah mana di India Selatan yang ia pandang sebagai asal Islam di Nusantara. Tetapi ia menyebut abad ke-12 sebagai periode paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara.

Moquette, seorang sarjana Belanda lainnya, berkesimpulan bahwa tempat asal Islam di Nusantara adalah Gujarat.ᆳpulan ini setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera, khususnya yang bertanggal 17 Zulhijah 831 H/27 September 1428 M. Batu nisan yang kelihatannya mirip dengan batu nisan lain yang ditemukan di makam Mawlânâ Mâlik ‘Ibrâhîm (w. 822/1419) di Gresik, Jawa Timur, ternyata sama bentuknya dengan batu nisan yang terdapat di Cambay, Gujarat. Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan, bahwa batu nisan di Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal, tetapi juga untuk diimpor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Nusantara juga mengambil Islam dari sana.

Kesimpulan-kesimpulan Moquette ini ditentang keras oleh Fatimi yang berargumen bahwa keliru mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, termasuk batu nisan Mâlik al-Shâlih dengan batu nisan di Gujarat. Menurut penelitiannya, bentuk dan gaya batu nisan Mâlik al-Shâlih berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lain yang ditemukan di Nusantara. Fatimi berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan ini justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu, seluruh batu nisan itu pastilah didatangkan dari daerah ini. Ini menjadi alasan utamanya untuk menyimpulkan, bahwa asal Islam yang datang ke Nusantara adalah wilayah Bengal. Dalam kaitannya dengan “teori batu nisan” ini, Fatimi mengkritik para ahli yang kelihatannya mengabaikan batu nisan Siti Fatimah (bertahun 475/1082) yang ditemukan di Leran, Jawa Timur.4

Teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Bengal tentu saja bisa dipersoalkan lebih lanjut termasuk, misalnya, berkenaan dengan adanya perbedaan mazhab yang dianut kaum Muslim Nusantara (Syafi’i) dan mazhab yang dipegang kaum Muslim Bengal (Hanafi). Tetapi, terlepas dari masalah ini, teori Fatimi yang dikemukakannya dengan begitu bersemangat gagal meruntuhkan teori Moquette, karena sejumlah sarjana lain telah mengambil alih kesimpulannya; dan yang paling terkenal di antara mereka ini adalah Kern,5 Winstedt,6 Bousquet,7 Vlekke,8 Gonda,9 Schrike,10dan Hall.11Sebagian mereka memberikan argumen tambahan

4 Lihat S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, Singapura: Malaysian Sociological Institute, 1963, 31-32.

5 Baca artikel pendahuluan R.A. Kern dalam F.W. Stepel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, I, Amsterdam: Joos van de Vondel, 1938; dan bukunya, De Islam in Indonesia, Den Haag: 1974, 79.

6 R.O. Winstedt, “A History of Malaysia”, JMBRAS, 13, I (1935), 29.

7 G.H. Bousquet, “Intruduction a l ‘etude de l ‘Islam Indonesien”, lamiques, Cahier, II-III (1938), 160.

8 Lihat B.H.M. Vlekke, Nusantara: History of the East Indian Archipelago, Cambridge, Mass:

Harvard University Press, 1943, 38-9, 52, 70-1.

9J. Gonda, Sanskrit in Indonesia, Nagpur: Internasional Academy of Indian Culture, 1952, 5.

10 Lihat B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, I, Den Haag dan Bandung: Van Hoeve, 1955, khususnya Bab I.

11 D.G.E. Hall, A History of South-East Asia, London: Macmillan, 1964, 190-191.

untuk mendukung kesimpulan Moquette. Wintedt, misalnya, mengemukakan tentang penemuan batu nisan yang mirip bentuk dan gayanya di Bruas, pusat sebuah kerajaan kuno Melayu di Perak, Semenanjung Malaya. Ia berhujah, karena seluruh batu nisan di Bruas, Pasai, dan Gresik didatangkan dari Gujarat, maka Islam juga pastilah diimpor dari sana. Ia juga mencatat, Sejarah Melayu mengandung beberapa bukti yang membenarkan hal ini; antara lain disebutkan kebiasaan di beberapa wilayah di Nusantara mengimpor batu nisan dari Gujarat.12 Schrieke juga menyokong teori ini dengan menekankan signifikansi peran penting yang dimainkan para pedagang Muslim Gujarat dalam perdagangan di Nusantara dan kemungkinan andil besar mereka dalam penyebaran Islam.13

Teori tentang Gujarat sebagai tempat asal Islam di Nusantara terbukti mempunyai kelemahan-kelemahan tertentu. Ini dibuktikan, misalnya, oleh Marrison. Ia berargumen, meski batu-batu nisan yang ditemukan di tempat-tempat tertentu di Nusantara boleh jadi berasal dari Gujarat—atau berasal dari Bengal, seperti dikemukakan Fatimi—itu tidak lantas berarti Islam juga didatangkan dari sana. Marrison mematahkan teori ini dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa pada masa islamisasi Samudera-Pasai, yang raja pertamanya wafat pada 698/1297, Gujarat masih merupakan Kerajaan Hindu. Barulah setahun kemudian (699/1298), Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasaan Muslim. Jika Gujarat adalah pusat Islam, yang dari tempat itu para penyebar Islam datang ke Nusantara, maka Islam pastilah telah mapan dan berkembang di Gujarat sebelum kematian Mâlik al-Shâlih, tegasnya sebelum 698/1297. Marrison selanjutnya mencatat, meski laskar Muslim menyerang Gujarat beberapa kali, masing-masing 415/1024, 574/1178, dan 595/1197, raja Hindu di sana mampu mempertahankan kekuasaannya hingga 698/1297. Mempertimbangkan semua ini, Marrison mengemukakan teorinya bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat, melainkan dibawa para penyebar Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.14

12 Baca, R.O. Winstedt, “The Advent of Muhammadanism in the Malay Paninsula and Archipelago”, JMBRAS, 77 (1917), 171-3.

13 Baca, Schrieke, Indonesian Sociological Studies, I, 12-5, 17.

Teori yang dikemukakan Marrison kelihatan mendukung pendapat yang dipegang Arnold. Menulis jauh sebelum Marrison, Arnold berpendapat bahwa Islam dibawa ke Nusantara antara lain juga dari Coromandel dan Malabar. Ia menyokong teori ini dengan menunjuk kepada persamaan mazhab fikih di antara kedua wilayah tersebut. Mayoritas Muslim di Nusantara adalah pengikut mazhab Syafi’i, yang juga cukup dominan di wilayah Coromandel dan Malabar, seperti disaksikan oleh para ‘Ibn Bathûthah ketika ia mengunjungi kawasan ini. Menurut Arnold, para pedagang dari Coromandel dan Malabar mempunyai peranan penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Sejumlah besar pedagang ini mendatangi pelabuhan-pelabuhan dagang dunia Melayu-Indonesia di mana mereka ternyata tidak hanya terlibat dalam perdagangan, tetapi juga dalam penyebaran Islam.15

Tetapi penting dicatat, menurut Arnold, Coromandel, dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa, tetapi juga di Arabia. Dalam pandangannya, para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abadabad awal Hijri atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah tentang kegiatan mereka dalam penyebaran Islam, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat pula dalam penyebaran Islam kepada penduduk lokal di Nusantara. Asumsi ini menjadi lebih mungkin, kalau orang, misalnya, mempertimbangkan fakta yang disebutkan sumber-sumber Cina, bahwa menjelang akhir perempatan ketiga abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagianorang-orang Arab ini dilaporkan melakukan perkawinan dengan wanita lokal, sehingga membentuk nucleus sebuah komunitas Muslim yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang dan penduduk lokal. Menurut Arnold, anggota-anggota komunitas Muslim ini juga melakukan kegiatan penyebaran Islam.16

14 Lihat G.E. Marrison, “The Coming of Islam to the East Indies”, JMBRAS, 24, I (1951), 31-7.

15 Lihat T.W. Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, London: Constable, 1913, 364-5.

16 Arnold, ibid. Untuk menyokong argumennya, ia mengutip “New History of the Tang Dynasty (608-908)”, yang melaporkan kehadiran pemimpin Arab itu pada tahun 674 M. Bandingkan, W.P. Groeneveldt, “Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources”, VBG, 39 (1880), 13-4.

Dalam kaitan ini, menarik disinggung bahwa kitab ‘Ajâib al-Hind, salah satu sumber Timur Tengah (aslinya berbahasa Persia) paling awal tentang Nusantara, mengisyaratkan tentang eksistensi komunitas Muslim lokal di wilayah Kerajaan Hindu-Buddha Zabaj (Sriwijaya). Kitab yang ditulis Buzurg bin Shahriyar al-Ramhurmuzi sekitar tahun 390/1000 ini meriwayatkan tentang kunjungan para pedagang Muslim ke Kerajaan Zabaj. Para pedagang Muslim ini menyaksikan kebiasaan di kerajaan itu, bahwa setiap orang Muslim—baik pendatang maupun penduduk lokal—yang ingin menghadap raja harus “bersila” Kata “bersila” yang digunakan kitab ‘Ajâ’ib al-Hind pastilah salah satu di antara sedikit kata Melayu yang pernah digunakan dalam teks Timur Tengah. Terlepas dari soal bahasa ini, kewajiban bersila yang disebutkan juga berlaku bagi penduduk Muslim lokal, mengisyaratkan telah terdapatnya sejumlah penganut Islam dari kalangan penduduk asli Kerajaan Zabaj.17 Sayang teks ini tidak memberi informasi tentang apakah penduduk asli ini diislamkan oleh para pedagang Arab tersebut. Yang jelas, kebiasaan bersila tersebut kemudian dihapuskan oleh Raja Sriwijaya setelah pedagang Oman memprotes bahwa tradisi itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Teori bahwa Islam juga dibawa langsung dari Arabia dipegang pula oleh Crawfurd, walaupun ia menyarankan bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum Muslim yang berasal dari pantai timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara itu, Keijzer memandang Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar pertimbangan kesamaan kepemelukan penduduk Muslim di kedua wilayah kepada mazhab Syafi’i. “Teori Arab” ini juga dipegang oleh Niemann dan de Hollander dengan sedikit revisi; mereka memandang bukan Mesir sebagai sumber Islam di Nusantara, melainkan Hadhramawt.18 Sebagian ahli Indonesia setuju dengan “teori Arab” ini. Dalam seminar yang diselenggarakan pada 1969 dan 1978 tentang kedatangan Islam ke Indonesia mereka menyimpulkan, Islam datang langsung dari Arabia, tidak dari India; tidak pada abad ke-12 atau ke-13 melainkan dalam abad pertama Hijri atau abad ke-7 Masehi.19

Di antara pembela tergigih “teori Arab” atau, sebaliknya, penentang terkeras “teori India” adalah Naguib al-Attas. Seperti Marrison, ia juga tidak bisa menerima penemuan epigrafis yang disodorkan Moquette sebagai bukti langsung bahwa Islam dibawa dari Gujarat ke Pasai dan Gresik oleh Muslim India. Ia berpendapat, batu-batu nisan itu dibawa dari India semata-mata karena jaraknya yang lebih dekat dibandingkan dengan Arabia. Ia memandang, bukti paling penting yang perlu dikaji ketika membahas kedatangan Islam ke Nusantara adalah karakteristik internal Islam di Dunia Melayu-Indonesia itu sendiri.20 Ia mengajukan apa yang disebutnya “teori umum tentang islamisasi Nusantara”, yang harus didasarkan terutama pada sejarah literatur Islam Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan-dunia Melayu seperti terlihat dalam perubahan konsep-konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur Melayu-Indonesia pada abad ke-10-11/16-17.21

17 Untuk teks lengkap berbahasa Arab, lihat P.A. van der Lith, KitabAjayib al-Hind: Livre des Marveilles de l ‘Inde, terj. Perancis L. Marcel Devic, Leiden: Brill, 1883-6, 154. Lihat glosari, 25 dan ekskursi B, “L ‘Archipel Indien”, khususnya 231-3. Untuk terj. Bahasa Inggris teks ini, lihat P. Quennel, The Books of the Marvels of Indie, London: Routledge, 1928; G.S.P. Freeman-Grenville, The Books of the Wonders of India, Mainland, Sea, and Island, London & Den Haag: 1981.

18 Lihat, Drewes, “New Light”, 439.

19 Lihat A. Hasjmi (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: al-Ma’rif, 1989, khususnya h. 7.

20 Lihat S.M.N. al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1972, 33-4. Cetakan keempat buku ini diterbitkan oleh Penerbit Mizan, Bandung, 1990.

Demikianlah, setelah mempertimbangkan perubahan-perubahan utama dalam pandangan dunia rakyat di Nusantara yang disebabkan kedatangan Islam, al-Attas menyimpulkan, sebelum abad ke-17 seluruh literatur keagamaan Islam yang relevan tidak mencatat satu pengarang Muslim India, atau karya yang berasal dari India. Pengarang-pengarang yang dipandang kebanyakan sarjana Barat sebagai berasal dari Arab atau Persia, dan bahkan apa yang disebut sebagai berasal dari Persia pada akhirnya berasal dari Arab, baik secara etnis maupun kultural. Nama-nama dan gelar-gelar para pembawa pertama Islam ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Arab atau Arab-Persia. Al-Attas selanjutnya menandaskan:Benar bahwa sebagian karya itu ditulis di India, tetapi asal mulanya adalah Arab atau Persia; atau karya-karya itu—sebagian kecilnya—berasal dari Turki atau Maghrib; dan apa yang lebih penting, kandungan keagamaannya adalah Timur Tengah, bukan India.22

Terlepas dari masalah-masalah yang ada dalam argumen al-Attas ini, yang jelas, ia sangat menekankan bahwa Islam di Nusantara berasal langsung dari Arab. Argumennya ini selaras dengan apa yang diceritakan oleh historiografi lokal tentang islamisasi di dunia mereka. Meski historiografi lokal ini sering bercampur dengan mitos dan legenda,23

21 S.M.N. al-Attas, Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969, 1.

22 Al-Attas, Preliminary, 25.

23 Dalam beberapa kasus, sumber-sumber lokal menekankan pentingnya mimpi (Arab: ru’yah) dalam proses konversi kepada Islam. Untuk pembahasan tentang peranan mimpi dalam masyarakat Muslim, lihat G.E. von Grunebaum & Roger Caillos, ᆳmam Societies, Los Angeles & Berkeley: University of California Press, 1966. Mimpi juga penting dalam membawa kaum Muslim ke dalam sufisme. Sejumlah contoh tentang hal ini dapat ditemukan dalam A.J. Arberry, Muslim Saints and Mystics, London: Routledge & Kegal Paul, 1966, 40, 81, 93, 98, 179, 180, 203, 220, 247, 254, 260. Bandingkan J.S. Trimingham, The Sufi Orders in Islam, London: Oxford University Press, 1973, 1589 tentang ru’yah. Terdapat pembahasan menarik tentang pentingnya dongeng dan mitos historis sebagai sumber informasi tentang sejarah wilayah tertentu. Lihat, Jan Vansina, Oral Tradition: A Study in Historical Methodhology, Chicago: Aldine, 1965, khususnya h. 154-7. Ia menegaskan, seluruh dongeng dan mitos merupakan tradisi resmi masyarakat-masyarakat tertentu untuk merekam sejarah mereka. Cerita-cerita ini disampaikan oleh para spesialis pada kesempatan resmi dan mentransmisikannya di dalam kelompok sosial tertentu. Menurut dia, setiap jenis dongeng dan mitos mempunyai nilainya sendiri. Dongeng historis berguna sebagai sumber informasi tentang sejarah militer, politik, kelembagaan, dan hukum. Adapun dongeng didaktik memberikan informasi tentang nilai-nilai kultural, sementara mitos didaktik merupakan sumber yang amat berguna untuk sejarah agama

Menurut Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis setelah 1350),24 seorang Syekh ‘Ismâ’îl datang dengan kapal dari Mekkah viaᆳsai—di sini ia membuat Merah Silau, penguasa setempat, masuk Islam. Merah Silau kemudian mengambil gelar Mâlik al-Shâlih yang, seperti dicatat terdahulu, wafat pada 698/1297. Seabad kemudian, sekitar 817/1414, menurut Sejarah Melayu (ditulis setelah 1500), penguasa Malaka juga diislamkan oleh Sayid ‘Abd al-‘Azîz, seorang Arab dari Jeddah.25 Begitu masuk Islam, penguasa itu, Parameswara, mengambil nama dan gelar Sultan Muhammad Syah. Historiografi Melayu lainnya, Hikayat Merong Mahawangsa (ditulis setelah 1630),26 meriwayatkan bahwa seorang Syekh ‘Abd Allâh al-Yamânî datang dari Mekkah (atau Baghdad?) ke Nusantara dan mengislamkan penguasa setempat (Phra Ong Mahawangsa), para menterinya dan penduduk Keddah. Penguasa ini setelah masuk Islam menggunakan gelar dan nama Sultan Muzhaffar Syah. Sementara itu, sebuah historiografi dari Aceh memberikan informasi bahwa nenek moyang para sultan Aceh adalah seorang Arab bernama Syekh Jamâl al-‘Alam, yang dikirim Sultan Utsmani untuk mengislamkan penduduk Aceh.27 Sebuah riwayat Aceh lainnya menyatakan, bahwa Islam diperkenalkan ke kawasan Aceh oleh seorang

.

24 Lihat, A.H. Hill (peny.), “Hikayat Raja-Raja Pasai”, JMBRAS, 33 (1960), 58-60. Lihat pula, Russel Jones, “Ten Conversion Myths From Indonesia”, dalam N. Levtzion (peny.), sion to Islam, New York: Holmes & Meier, 1979, 136-7.

25 C.C. Brown (penerj.), Sejarah Melayu or Malay Annals, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1970, 43-4. Bandingkan Jones, “Ten Conversion Myths”, 136-7.

26 Siti Hawa Saleh, Hikayat Merong Mahawangsa, Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970, khususnya Bab 4, 5, 85-127. Bandingkan Jones, “Ten Conversion Myths”, 138-42.

27 R.H. Djajadiningrat, Kesultanan Aceh, terj. T. Hamid, Banda Aceh: Departemen P & K, 1982/3, 12.

Arab bernama Syekh ‘Abd Allâh ‘Ârif sekitar 506/1111.28

Tarsilah (silsilah) raja-raja Muslim dari Kesultanan Sulu di Filipina meriwayatkan cerita senada. Menurut sebuah tarsilah, Islam disebarkan di wilayah ini pada paruh kedua abad ke-8/14 oleh seorang Arab bernama Syarîf Awliyâ’ Karîm al-Makhdûm, yang datang dari Malaka pada 782/1380. Silsilah Sulu mengklaim, ia adalah ayah dari Mawlânâ Mâlik ‘Ibrâhîm, salah seorang di antara “wali sanga” yang dipercayai mengislamkan Pulau Jawa. Setelah itu, datang pula seorang Arab bernama ‘Amîn Allâh al-Makhdûm, yang juga dikenal dengan gelar Sayid a-Niqâb. Ia dipercayai datang ke wilayah ini bersama sejumlah Cina Muslim. Gelombang islamisasi selanjutnya di Sulu, khususnya di pedalaman, terjadi ketika seorang Arab bernama Sayid ‘Abû Bakr datang ke wilayah ini. Seluruh tarsilah yang ada bersepakat bahwa ia dijadikan sultan pertama Kesultanan Sulu dengan gelar Syarîf al-Hâsyim. Dua orang Arab lainnya yang juga berperan besar dalam penyebaran Islam di kawasan ini disebut bernama “Mohadum” dan ‘Alawi al-Bapaki. Keduanya dikatakan sebagai saudara Sayid ‘Abû Bakr.29 Hunt, seorang pengembara Barat di Sulu pada masa itu, menulis bahwa “Seorang sufi lain datang dari Mekkah, bernama Sayed Barpaki, berhasil memasukkan hampir seluruh penduduk ke dalam islamisme.”30

Kebanyakan sarjana bersepakat, bahwa di antara para penyebar pertama Islam di Jawa adalah Mawlânâ Mâlik ‘Ibrâhîm, yang namanya sudah disebut di atas. Ia dilaporkan mengislamkan kebanyakan wilayah pesisir utara Jawa, dan bahkan beberapa kali mencoba membujuk Raja Hindu-Buddha Majapahit, Vikramavarddhana (berkuasa 788833/1386-1429) agar masuk Islam.31 Tetapi kelihatannya, hanya setelah kedatangan Raden Rahmat, putra seorang dâ’î Arab di Campa, Islam memperoleh momentum di Istana Majapahit. Ia digambarkan mempunyai peran menentukan dalam islamisasi Pulau Jawa dan karenanya, dipandang sebagai pemimpin wali sanga dengan gelar Sunan Ampel. Adalah di Ampel ia mendirikan sebuah pusat keilmuan Islam. Pada saat keruntuhan Majapahit, terdapat seorang Arab lain, Syekh Nûr al-Dîn ‘Ibrâhîm binti Mawlânâ ‘Izrâ’îl, yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati. Ia belakangan memapankan diri di Kesultanan Cirebon. Seorang sayid terkenal lain di Jawa adalah Mawlânâ ‘Ishâq yang dikirim Sultan Pasai untuk mencoba mengajak penduduk Blambangan, Jawa Timur, masuk Islam.32

28 Ibid.

29 Informasi tentang proses islamisasi di Filipina ini didasarkan pada C.A. Majul, Muslims in the Philippines, edisi kedua, Quezon City: The University of the Philippines Press, 1979, khususnya h. 51-72.

30 J. Hunt Esq., “Some Particulars Relating to Sulu in the Archipelago of Felicia”, dalam J.H. Moors, Notices of the Indian Archipelago and Adjacent Contries, Singapura: 1837, 33.

31 Winstedt, “The Advent”, 175. Bandingkan al-Attas, Preliminary, 12-3.

Mempertimbangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan historiografi klasik ini, maka kita bisa mengambil empat tema pokok. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia; Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyair “profesional”—yakni mereka yang memang khusus bermaksud menyebarkan Islam; Ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa; dan Keempat, kebanyakan para penyebar Islam “profesional” ini datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Mempertimbangkan tema terakhir ini, seperti dibahas di depan, mung-kin benar bahwa Islam sudah diperkenalkan ke dan ada di Nusantara pada abad-abad pertama Hijri, sebagaimana dikemukakan Arnold dan dipegangi banyak sarjana Indonesia-Malaysia, tetapi hanyalah setelah abad ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Karena itu, proses islamisasi tampaknya mengalami akselarasi antara abad ke-12 dan ke-16.

Telah dikemukakan pula di depan, kebanyakan sarjana Barat memegang teori bahwa para penyebar pertama Islam di Nusantara adalah para pedagang Muslim yang menyebarkan Islam sembari melakukan perdagangan di wilayah ini, maka nucleus komunitas-komunitas Muslim pun tercipta, yang pada gilirannya memainkan andil besar dalam penyebaran Islam. Selanjutnya dikatakan, sebagian pedagang ini melakukan perkawinan dengan keluarga bangsawan lokal sehingga memungkinkan mereka atau keturunan mereka pada akhirnya mencapai kekuasaan politik yang dapat digunakan untuk penyebaran Islam.

32 Winstedt, “The Advent”, 175; al-Attas, Preliminary, 13.

Dalam kerangka ini, van Leur percaya bahwa motif ekonomi dan politik sangat penting dalam masuk Islamnya penduduk Nusantara. Dalam pendapatnya, para penguasa pribumi yang ingin meningkatkan kegiatan-kegiatan perdagangan di wilayah kekuasaan mereka menerima Islam. Dengan begitu mereka mendapatkan dukungan para pedagang Muslim yang menguasai sumber-sumber ekonomi. Sebaliknya, para penguasa memberi perlindungan dan konsesi-konsesi dagang kepada para pedagang Muslim. Dengan konversi mereka kepada Islam, para penguasa pribumi Nusantara dapat berpartisipasi secara lebih ekstensif dan menguntungkan dalam perdagangan internasional yang mencakup wilayah sejak dari Laut Merah ke Laut Cina. Lebih jauh, dengan masuk Islam dan mendapat dukungan para pedagang Muslim, para penguasa itu dapat mengabsahkan dan memperkuat kekuasaan mereka, sehingga mampu menangkis jaring-jaring kekuasaan Majapahit.33

Teori ini jelas bertentangan dengan riwayat yang disampaikan historiografi klasik tadi. Teori meletakkan terlalu banyak tekanan pada motif-motif ekonomi dan sekaligus peran para pedagang. Di sini penting mengemukakan hujah Johns: sulit memercayai bahwa para pedagang Muslim ini juga berfungsi sebagai para penyebar Islam.34 Jika benar mereka juga bertindak sebagai penyiar Islam, maka cukup diragukan apakah jumlah penduduk yang berhasil mereka Islamkan cukup besar dan signifikan. Lebih jauh lagi—dan ini argumen terpenting—jika memang mereka sangat aktif dalam penyiaran Islam, mengapa Islam kelihatan nyata sebelum abad ke-12. Padahal para pedagang Muslim ini sudah berada di Nusantara sejak abad-abad ke-7 dan ke-8. Dengan kata lain, meski para penduduk pribumi telah bertemu dan berinteraksi dengan para pedagang Muslim sejak abad ke-7, tidak terdapat bukti tentang terdapatnya penduduk Muslim lokal dalam jumlah besar atau tentang terjadinya islamisasi substansial di Nusantara.

33 Lihat, J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society, Den Haag: Van Hoeve, 1955, 72, 110-6.

34 A.H. Johns, “Muslim Mystics and Historical Writings”, dalam D.G.E. Hall (peny.), Historians of South East Asia, London: Oxford University Press, 1961, 40-1. Bandingkan Fatimi, Islam Comes, 90-1.

Schrieke juga membahas tentang motif penyebaran Islam di kalangan rakyat di Nusantara. Ia tidak percaya bahwa perkawinan antara para pedagang dengan para keluarga bangsawan menghasilkan konversi kepada Islam dalam jumlah besar. Ia menolak pula bahwa kaum pribumi pada umumnya termotivasi masuk Islam karena penguasa mereka telah memeluk agama ini. Dalam pendapatnya adalah ancaman Kristen yang mendorong penduduk Nusantara untuk masuk Islam dalam jumlah besar. Jadi, menurut dia, penyebaran dan ekspansi luar biasa Islam merupakan hasil dari semacam pertarungan antara Islam dan Kristen untuk mendapatkan penganut-penganut baru di kawasan ini. Schrieke mendasarkan teorinya ini dengan melihat apa yang dipandangnya sebagai konfrontasi antara Islam dan Kristen di Timur Tengah dan Semenanjung Iberia. Menurut dia, penyebaran Islam secara besar-besaran di Nusantara terjadi ketika pertarungan tengah berlangsung antara Portugis melawan para pedagang dan penguasa-penguasa Muslim di Arabia, Persia, India, dan Nusantara. Ia menyimpulkan, penyebaran Islam dipandang sebagai kekuatan tandingan terhadap gospel Kristen yang agresif.35 Tetapi argumen Schrieke ini sulit diterima. Karena apa yang disebutnya “pertarungan antara Islam dan Kristen” di Nusantara paling mungkin terjadi hanya setelah tahun 1500 ketika orang-orang Eropa mulai datang ke Nusantara, tidak pada abad ke-12 atau ke-13, ketika berlangsungnya islamisasi besar-besaran di Nusantara.

35 Schrieke, Indonesian Sociological Studies, II, 232-7.

Teori yang lebih masuk akal dengan tingkat aplikabilitas lebih luas dibandingkan semua teori di atas disajikan oleh A.H. John. Dengan mempertimbangkan kecilnya kemungkinan bahwa para pedagang memainkan peran terpenting dalam penyebaran Islam, ia mengajukan bahwa adalah para sufi pengembara yang terutama melakukan penyiaran Islam di kawasan ini. Para sufi ini berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara setidaknya sejak abad ke-13. Faktor utama keberhasilan konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal. Dengan menggunakan tasawuf sebagai sebuah kategori dalam literatur dan sejarah Melayu-Indonesia, Johns memeriksa sejumlah sejarah lokal untuk memperkuat hujahnya.36

36 A.H. Johns, “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History”, JSEAH, 2, II (1961), 10-23. 37 Ibid., 15.

Menurut Johns, banyak sumber lokal mengaitkan pengenalan Islam ke kawasan ini dengan guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi yang kental. Karakteristik lebih terperinci mereka ini adalah sebagai berikut:

Mereka adalah para penyiar (Islam) pengembara yang berkelana diseluruh dunia yang mereka kenal, yang secara sukarela hidup dalam kemiskinan; mereka sering berkaitan dengan kelompok-kelompok dagangatau kerajinan tangan, sesuai dengan tarekat yang mereka anut; mereka mengajarkan teosofi sinkretik yang kompleks, yang umumnya dikenal baik orang-orang Indonesia, yang mereka tempatkan ke bawah (ajaran Islam), (atau) yang merupakan pengembangan dari dogma-dogmapokok Islam; mereka menguasai ilmu magis, dan memiliki kekuatan yang menyembuhkan; mereka siap memelihara kontinuitas dengan masasilam, dan menggunakan istilah-istilah dan unsur-unsur kebudayaan pra-Islam dalam konteks Islam.37

Jadi, berkat otoritas karismatik dan kekuatan magis mereka, sebagian guru sufi dapat mengawini putri-putri bangsawan dan karena itu, memberikan kepada anak-anak mereka gengsi darah bangsawan dan sekaligus aura keilahian atau karisma keagamaan. Hasilnya, kesimpulan Johns, Islam tidak dapat dan tidak menancapkan akarnya di kalangan penduduk negara-negara Nusantara atau mengislamkan para penguasa

mereka sampai Islam disiarkan para sufi, dan ini tidak merupakan gambaran dominan perkembangan Islam di Nusantara sampai abad ke-13.38 Teori sufi ini disokong oleh Fatimi, misalnya, yang memberikan argumen tambahan. Ia, antara lain, menunjuk kepada sukses yang sama dari kaum sufi dalam mengislamkan jumlah besar penduduk Anak Benua India pada periode yang sama.39

Persoalannya kemudian, kenapa gelombang sufi pengembara ini baru aktif sejak abad ke-13? Johns berhujah, tarekat sufi tidak menjadi ciri cukup dominan dalam perkembangan Dunia Muslim sampai jatuhnya Baghdad ke tangan laskar Mongol pada 656/1258. Mengutip Gibb, ia mencatat bahwa setelah kejatuhan kekhalifahan Baghdad, kaum sufi memainkan peran kian penting dalam memelihara keutuhan Dunia Muslim dengan menghadapi tantangan kecenderungan pengepingan kawasan-kawasan kekhalifahan ke dalam wilayah-wilayah linguistik Arab, Persia, dan Turki. Adalah pada masa-masa ini tarekat sufi secara bertahap menjadi institusi yang stabil dan disiplin, dan mengembangkan afiliasi dengan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan (thawâ’if), yang turut membentuk masyarakat urban.40

Afiliasi ini memungkinkan para guru dan murid sufi memperoleh sarana pendukung untuk melakukan perjalanan dari pusat-pusat Dunia Muslim ke wilayah-wilayah periferi, membawa keimanan dan ajaran Islam melintasi berbagai batas bahasa dan, dengan demikian, mempercepat proses ekspansi Islam. Dengan latar belakang semacam inilah, maka sumber-sumber lokal yang disebut dan dikutip terdahulu memberi informasi tentang kedatangan syekh, sayid, makhdûm, guru, dan semacamnya dari Timur Tengah atau tempat-tempat lain ke wilayah-wilayah mereka.

38 Ibid., 14.

39 Lihat, Fatimi, Islam Comes, 94-8.

40 Johns, “Sufism as a Category”, 15. Lihat pula, H.A.R. Gibb, “An Interpretation of Islamic History II”, MW, 45, II (1955), 130.

Teori “sufi” ini berhasil membuat korelasi antara peristiwa-peristiwa politik dan gelombang-gelombang konversi kepada Islam. Meski peristiwa-peristiwa politik—dalam hal ini Kekhalifahan Abbasiyah—merefleksikan hanya secara tidak langsung pertumbuhan massal masyarakat Muslim, orang tak dapat mengabaikan mereka, karena semua itu memengaruhi perjalanan masyarakat Muslim di bagian-bagian lain Dunia Muslim. Teori ini juga berhasil membuat korelasi penting antara konversi dengan pembentukan dan perkembangan institusi-institusi Islam yang menurut Bulliet, akhirnya membentuk dan menciptakan ciri khas masyarakat tertentu sehingga ia benar-benar dapat disebut sebagai masyarakat Muslim. Yang terpenting di antara institusi-institusi ini adalah madrasah, tarekat sufi, futuwwah (persatuan pemuda), dan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan. Semua institusi ini menjadi penting hanyalah sejak abad ke-11.41

Periode konsolidasi yang diberikan Bulliet kelihatan sedikit lebih awal dibandingkan dengan yang dikemukakan Johns. Tetapi, riwayat lengkapnya dapat dijelaskan lebih baik dengan sekali lagi melihat kepada peristiwa-peristiwa politik yang terjadi dalam abad-abad ini. Tidak ada persoalan, bahwa pada abad ke-11 kekhalifahan Abbasiyah dengan cepat merosot. Kemerosotan kekuasaan politik ini khususnya mendorong munculnya lembaga-lembaga dan struktur-struktur nonpolitik untuk mengisi kevakuman dalam struktur dan kepemimpinan politik. Karena itu, menjelang abad ke-12 berbagai perkumpulan sosial, keagamaan dan ekonomi—seperti disebutkan tadi, muncul dan berkembang lebih cepat. Lebih jauh adalah pada masa-masa ini atau menjelang akhir abad ke-12 padamnya konflik faksional endemik yang memecah belah go-longan Sunni sejak abad ke-10. Konsekuensi perkembangan ini adalah kebangkitan ulama sebagai kelompok sosial khas, yang semakin sadar terhadap peran krusial mereka dalam memelihara dan memperluas ranah pengaruh Islam.42

41 Lihat, R.W. Bulliet, “Conversion to Islam and the Emergence of a Muslim Society in Iran”, dalam Levtzion (peny.), Conversion to Islam, 36.

42 Lihat, Azyumardi Azra, “The Study of the ‘Ulama’: A Preliminary Research”, thesis M.A.,

PETA 1. PENYEBARAN ISLAM DI NUSANTARA

Situasi politik yang tak menguntungkan itu, lebih jauh lagi, mendorong banyak Muslim—termasuk ulama dan sufi—di wilayah-wilayah tertentu yang dikuasai langsung Dinasti Abbasiyah untuk berpindah khususnya ke wilayah-wilayah yang baru diislamkan. Menjelang akhir abad ke-11, bagian barat Baghdad, misalnya, kehilangan banyak penduduknya. Eksodus ini bahkan lebih mencolok di Persia. Dalam periode yang sama, Persia kehilangan banyak ulama Sunni. Inilah salah satu faktor utama yang mendorong pertumbuhan golongan Syi’ah di Persia. Sebaliknya, banyak ulama yang keluar dari Persia dapat ditemukan di banyak wilayah Dunia Muslim. Migrasi dalam jumlah besar ini turut mempercepat konversi orang-orang dalam jumlah besar kepada Islam di Anak Benua India, Eropa Timur dan Tenggara, dan Nusantara pada periode antara paruh kedua abad ke-10 dan akhir abad ke-13. Seluruh proses mempunyai andil terhadap kebangkitan yang oleh Hodgson disebut sebagai “internasionalisasi” (“universalisasi”) Islam Sunni.43 Memandang dari perspektif lebih luas ini, orang akan lebih memahami proses konversi dan islamisasi Nusantara. Jelas, terdapat sejumlah faktor yang berkaitan satu sama lain, yang memengaruhi seluruh proses yang ada. Tetapi, terlepas dari kompleksitas proses konversi dan islamisasi Nusantara itu, wilayah ini merupakan contoh yang cukup unik dari transformasi besar keagamaan antara mayoritas penduduknya

SIAPAKAH AGKH ABDUL RAHMAN AMBO DALLE

Menurut Yusrie Abady (2012: 73-74), bahwa K.H. Abdurrahman Ambo Dalle dilahirkan pada hari Selasa, tahun 1890 di sebuah desa yang bernama UjungE, Kecamatan Tanah Sitolo, sekitar 7 km, sebelah utara kota Sengkang Kabupaten Wajo. Ayahnya bernama Uang Ngati Daeng Patobo, dan ibunya bernama Puang Candra Dewi atau yang lebih dikenal dengan nama Puang Cendaha. Beliau meninggal dunia pada tanggal 29 November tahun 1996 di rumah sakit Akademis Makassar. Nama Ambo Dalle yang berarti Bapak Rezeki diberikan orang tuanya. Adapun tambahan nama Abdur Rahman diberikan oleh gurunya setelah ia belajar agama.

Semasa remaja selain giat belajar ilmu agama, ilmu umum, ilmu keguruan, bahasa dan lainnya, ternyata ia juga hobi dan mahir ber-main bola dengan posisi sebagai pemain depan. Ia sering mengecoh penjaga gawang melalui sundulan kepala atau tendangan langsung. Kegiatan ini baru mulai terhenti ketika ia menjadi guru dan biasa memakai jubah dan serban warna putih-putih. Selain itu ia dapat menulis dengan dua tangan. Tangan kanan menulis huruf Latin dari kiri ke kanan, dan tangan kiri menulis huruf Arab dari kiri ke kanan.

Riwayat pendidikannya bermula dari mengaji Al-Qur’an kepada tantenya selama 15 hari, dan dilanjutkan oleh ibunya sampai tamat. Setelah itu ia belajar tajwid dan menghafal Al-Qur’an kepada ulama Sengkang bernama H. Muhammad Ishaq. Selanjutnya ia memperdalam ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf, dan lainnya kepada sejumlah ulama dari Mekkah yang datang ke Wajo, seperti Syaikh Muhammad al-Jawwad, Sayyid Abdullah Dahlan, Sayyid Hasaan al-Yamani dan sebagian lagi ulama yang asal Wajo yang pernah belajar puluhan tahiun di Mekkah, seperti H.Syamsuddin, H.Ambo Omme, Sayyid Alwi al-Ahdal. Selain itu ia juga melakukan rihlah ilmiah kepada beberapa ulama untuk menimba ilmu agama Islam. Namun sebelum itu ia telah menamatkan pendidikan pada Volk School dan kursus bahasa Belanda di HIS. Selanjutnya pada tahun 1918 ia mendapat kesempatan untuk belajar pada sekolah guru yang diadakan oleh Syarikat Islam (SI) di Makassar. Setelah itu ia kembali ke Sengkang (Wajo) untuk melanjutkan dan memperdalam ilmu agamanya, hingga mampu menghafal al-Quran dalam usia 14 tahun.

Kariernya dimulai pada tahun 1928, ketia ia diajak bergabung dengan pengajian yang diadakan di rumah K.H. Muhammad As’ad, seorang putra Wajo yang pernah belajar dan berdomisili lebih sepuluh tahun di Mekkah dan telah menjadi Ulama sesuai sertifikat dari gurunya. Ajakan ini didasarkan pada isyarat, bahwa Abd. Rahman Ambo Dalle memiliki ciri khas, bakat dan kecerdasan luar biasa, sebagai syarat yang cerah untuk menjadi ulama masa depan. Selama bergabung dengan K.H. As’ad, kedudukan AGKH Abd. Rahman Ambo Dalle, selain sebagai santri senior, juga sebagai asisten utama yang menjalankan kegiatan pendidikan pada Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) yang dipimpin K.H. As’ad di Sengkang Wajo.

Selanjutnya pada tahun 1939-1950 K.H. Abd. Rahman Ambo Dale pindah ke Mangkoso untuk membuka MAI (Madrasah al-Arabiyah al-Islamiyah) yang tidak memiliki hubungan organisatoris dan struktural dengan MAI yang dipimpin K.H. As’ad. Selanjutnya ia mendirikan organisasi yang bernama DDI (Dar al-Da’nah Na al-Irsyad), dan ia terpilih sebagai Ketua Umum yang pertama. Tahun 1950-1955 ia pindah ke Pare-pare, karena diangkat sebagai Qadhi oleh Kerajaan Malluse Tasi, dan bersama dengan K.H. Fakih Usman dari Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) membentuk Departemen Agama di Provinsi Sulawesi. Selanjutnya beliau diangkat sebagai Kepala Urusan Agama di Pare-pare. Tahun 1955-1963, beliau diculik oleh DI TII pasukan M. Nurdin Fisof di bawah pimpinan Revolusi Islam Abdul Qahar Muzakkar. Tahun 1963-1977, ia kembali ke Pare-pare dan memimpin DDI serta membangun Kampus DDI di Jung Lare Pare-pare, dan nama madrasah diubah menjadi Pondok Pesantren. Tahun 1977-1993 ia mendirikan pesantren utara di Kaballangan Kabupaten Pinrang, dan diangkat sebagai anggota MRP-RI. Dalam kedudukan dan perannya yang demikian, ia melakukan kerjasama dengan ICMI dan BPPT dalam meningkatkan peran pesantren sebagai mediator dan penghubung antara tradisi dengan modernisasi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kalangan umat Islam. Lihat Yusrie Abady (2012: 73-76).

Selain pernah tinggal dalam keluarga dan lingkungan yang taat menjalankan agama dan kearifan lokal, ia juga bersentuhan dengan wawasan modernis Islam yang ia peroleh pada saat ia tinggal di Kota Makassar, sebuah Kota Pelabuhan yang amat dinamis. Di kota ini pula ia berkenalan dengan pemikiran Islam modern melalui H.O.S. Cokroaminoto sebagai tokoh Syarikat Islam.

Dengan demikian, AGKH Abd. Rahman Ambo Dalle, dapat dikatakan sebagai seorang ulama yang intelek, multi talented, dan karismatik. Keulamaannya selain ditandai oleh kedalaman dan keluasan ilmu agamanya, juga amaliyah ibadahnya hingga pada tarap mendapatkan karomah yang umumnya dikenal dalam tasawuf atau tharekat. Ada-pun keintelektualannya antara lain ditandai oleh keluasaan dalam penguasaan ilmu umum dan penguasaan bahasa asing. Dengan bekal ilmu agama dan umum yang kuat ini, ia menjadi ulama yang intelek yang mampu menerjemahkan, mengelaborasi, mengaktualisasi dan mengontektualisasikan ajaran Islam dalam bentuk program-program yang nyata dalam bidang pendidikan, dakwah dan lainnya yang dapat dirasakan masyarakat, bangsa, dan negara. Dari paparan tersebut di atas, terlihat bahwa K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle adalah seorang pribadi yang memiliki latar belakang pen-didikan yang multidisiplin, multi talented, keulamaan yang karisma-tik dan memiliki karomah, sikap yang terbuka menerima pendapat orang lain, ketekunan dan kegigihan dalam memajukan pendidikan, dakwah, tugas kenegaraan, kemasyarakatan dan lainnya. Selain ia juga memiliki pendirian yang kukuh (istiqamah), tidak mudah dipengaruhi orang lain, keinginan dan kemampuan yang tinggi dan kuat untuk memajukan pendidikan, dakwah dan pengembangan masyarakat de-ngan pendekatan yang fleksibel

ARISTOTELES, PENDIRI FILSAFAT ILMU

Ada tiga orang Yunani yang dihormati sebagai pilar utama dan peletak dasar filsafat Barat, Aristoteles ada lah yang termuda di antara mereka. Dia filsuf Yunani  yang terkenal karena memperoleh semua pengetahuan dan kebijaksanaan di bawah bimbingan Plato dan  kemudian mengajar orang-orang seperti Alexander the Great. Kecerdasaran Aristoteles memang benar-benar melampaui gurunya Plato. Dia juga sebagai orang pertama yang menciptakan sistem filsafat yang komprehensif, yang mencakup beberapa aspek dan kebajikan esensial.

Pandangannya tentang ilmu fisika memiliki pengaruh besar pada keilmuan abad pertengahan, dan dampaknya berlangsung hingga renaissance, ketika konsep-konsep ini digantikan oleh fisika Newton. Aristoteles dapat dikatakan sebagai pendiri sains dan filsafat sains. Dia menulis secara luas tentang topik yang sekarang kita sebut fisika, astronomi, psikologi, biologi, dan kimia, serta logika, matematika, dan epistemologi.

1. Aristoteles dan Silogisme

Aristoteles menulis secara luas tentang topik yang sekarang kita sebut fisika, astronomi, psikologi, biologi, dan kimia, serta logika, matematika, dan epistemologi. (Stein, N., 2011). Aristoteles berpikir bahwa ada perbedaan tajam antara pemahaman kita tentang fakta dan pemahaman kita ten-tang alasan dari fakta-fakta tersebut. Meskipun kedua jenis pemahaman ini berjalan melalui silogisme deduktif, hanya yang terakhir adalah karakteristik ilmu pengetahuan, yang terkait dengan pengetahuan tentang sebab. Dalam Posterior Analytics, (Frederick, 1985) Aristoteles menggambarkan perbedaan ini dengan membandingkan dua contoh silogisme deduktif:

  • Silogisme       A
  • Planet tidak berkelip.
  • Yang tidak berkelap-kelip sudah dekat.
  • Karena itu, planet-planet sudah dekat.
  • Silogisme       B
  • Planet sudah dekat.
  • Yang dekat tidak berkelap-kelip.
  • Karena itu, planet tidak berkelap-kelip.

Silogisme A, kata Aristoteles, menunjukkan fakta bahwa planet sudah dekat, tetapi tidak menjelaskan fakta tersebut, karena silogisme tidak menyatakan penyebabnya. Namun, silogisme B jelas karena silogisme memberi alasan mengapa planet tidak berkelap-kelip: karena mereka de-kat. Poin Aristoteles adalah bahwa, selain bersifat demonstratif, argumen penjelas juga harus asimetris: hubungan asimetris antara sebab dan akibat harus tecermin dalam hubungan asimetris antara bangunan dan kesimpulan dari argumen penjelasan: tempat harus menjelaskan kesimpulan, dan tidak sebaliknya. (Martha, 1978).

2. Empat “Sebab” Aristoteles

Aristoteles (384-322 SM) menghasilkan filsafat sains besar pertama, meskipun karyanya di bidang ini diremehkan secara luas saat ini. Hal lain juga adalah, diskusi tentang sains hanya kualitatif, bukan kuantitatif, meskipun Aristoteles dianugerahi sedikit penghargaan untuk matematika. Perdefinisi modern, filsafat Aristotelian dianggap bukan sains, karena dipandang tidak berusaha menyelidiki bagaimana dunia sebenarnya bekerja melalui eksperimen dan uji empiris. Alih-alih, berdasarkan apa yang dikatakan oleh indra seseorang, filsafat Aristotelian kemudian bergantung pada asumsi bahwa pikiran manusia dapat menjelaskan semua hukum alam semesta, berdasarkan pengamatan sederhana (tanpa eksperimen) melalui akal semata. Sebaliknya, dewasa ini istilah sains merujuk pada posisi bahwa berpikir saja sering membuat orang tersesat, dan karenanya seseorang harus membandingkan ide seseorang dengan dunia nyata melalui eksperimen; hanya dengan demikian seseorang dapat melihat apakah ide-ide seseorang didasarkan pada kenyataan. (Britannica.com. Britannica Online Encyclopedia, 2009)

Salah satu alasan yang mendasari kesimpulan Aristoteles adalah, ketahanan pendapat dia, bahwa fisika tertuju pada soal mengubah objek dengan realitasnya sendiri, sedangkan matematika tertuju pada benda yang tidak berubah tanpa realitasnya sendiri. Dalam filosofi ini, Aristoteles tidak dapat membayangkan bahwa ada hubungan di antara objek dengan realitas. Dia mengajukan doktrin tentang empat “penyebab” dari segala perubahan objek, namun makna kata sebab (bahasa Yunani: αἰτἱα, aitia) tidak digunakan dalam pengertian modern seperti “sebab dan akibat”, di mana sebab adalah peristiwa atau keadaan. Inilah cara berbeda untuk menjelaskan sesuatu; misalnya sebab-sebab materiel dan formal adalah faktor internal dari suatu benda, dan ini hanya dapat dipisahkan dalam pikiran; sementara itu sebab efisien dan final adalah faktor eksternal.

Aristoteles menulis, “kita tidak memiliki pengetahuan tentang suatu hal sampai kita memahami sebabnya, yaitu, penyebabnya.” “Sebab” adalah terjemahan tradisional dari aitia Yunani (αἰτία), dalam arti teknis yang tidak sesuai dengan makna sehari-harinya. Terjemahan αἰτίαᆳngan bahasa biasa adalah “penjelasan”. Aristoteles berpendapat bahwa ada empat jenis jawaban untuk pertanyaan “Mengapa” (Fisika II: 3, dan Metafisika V: 2). Menyebabkan hasil perubahan (atau gerakan). “Empat Penyebab” adalah jawaban untuk pertanyaan “Mengapa?”. (Steven, M. Carr, 2020).

Alih-alih, kata dia, ada empat sebab; yaitu:

  1. Matter, penyebab materiel (a materiel cause) ditentukan oleh materi yang menyusun hal-hal yang berubah. Untuk sebuah meja, hal itu mungkin kayu; untuk patung, itu bisa perunggu atau marmer.
  2. Form, penyebab bentuk, (a formal cause, penyebab formal), bentuk yang terjadi karena penataan, atau penampilan dari hal yang berubah. Hubungan numerik bersifat seperti ini. Juga merupakan cetak biru atau ide yang umumnya dipegang tentang apa objek seharusnya. Aristoteles berkata, “Bentuknya adalah sebagai penjelas dari esensi (misalnya, penyebab satu oktaf adalah rasio dua banding satu).
  3. Agency or efficiency, penyebab efisien (an efficient cause), terdiri dari hal-hal selain dari hal yang sedang diubah, yang berinteraksi sehingga menjadi agen perubahan. Sebagai contoh, penyebab efisien dari sebuah meja adalah seorang tukang kayu yang bertindak atas kayu. Menurut Aristoteles, penyebab efisien seorang anak adalah seorang ayah, adalah orang yang membuat objek, atau “penggerak yang tidak bergerak” (dewa) yang menggerakkan alam, produsen adalah penyebab dari produk, sedangkan penggagas perubahan adalah penyebab.
  4. End or purpose: penyebab final (a final cause) atau telos, penyebab terakhir adalah karena untuk itulah sesuatu berubah. Ujung biji adalah tanaman dewasa. Tujuan perahu layar adalah berlayar. Sebuah bola di bagian atas tanjakan akhirnya akan beristirahat di bagian bawah. Ini termasuk “semua langkah peralihan yang untuk tujuan akhir… misalnya, pelangsingan tubuh, pembersihan, obat-obatan, atau instrumen kesehatan; semua ini untuk akhirnya. (Frederick, 1985).

Aristoteles berpendapat bahwa benda-benda alami seperti “manusia individu” memiliki keempat penyebab. Sebagai contoh, penyebab atau penjelasan dari sebuah meja, dalam hal empat aitias, adalah bahwa meja tersebut padat dan berbutir karena terbuat dari kayu (bahan), tidak runtuh karena desainnya dengan empat kaki dengan panjang yang sama (formal).), itu terjadi karena tukang kayu membuatnya dari kayu (badan), dan memiliki dimensi ini karena dimaksudkan untuk mendukung benda (tujuan). (Steven, M. Carr, 2020).

3.  Tentang Aristotelianisme

Aristotelianisme adalah aliran atau tradisi filsafat dari periode Sokrates (atau Klasik) Yunani kuno, yang mengambil inspirasi yang menentukan dari karya abad ke-4 SM. filsuf Aristoteles. Pengikut langsungnya juga dikenal sebagai Sekolah Peripatetik (berarti berkeliling atau berjalan-jalan, setelah jalan setapak tertutup di Lyceum di Athena tempat mereka sering bertemu), dan di antara anggota yang lebih menonjol (selain Aristoteles sendiri) adalah Theophrastus (322-288 SM), Eudemus dari Rhodes (c. 370300 SM), Dicaearchus (c. 350-285 SM), Strato Lampsacus (288-269 SM), Lyco of Troas (c. 269-225 SM), Aristo of Ceos (c. 225-190 SM), Critolaus

(c. 190-155 SM), Diodorus of Tyre (c. 140 SM), Erymneus (c. 110 SM), dan Alexander dari Aphrodisias (c. 200 AD).

Aristoteles mengembangkan karya filosofis awal Socrates dan Plato dengan cara yang lebih praktis dan sederhana, dan merupakan orang pertama yang menciptakan sistem filsafat yang komprehensif, yang mencakup etika, metafisika, estetika, logika, epistemologi, politik, dan ilmu pengetahuan. Dia menolak rasionalisme dan idealisme yang dianut oleh Platonisme, dan menganjurkan sifat khas Aristotelian dari “phronesis” (kebijaksanaan praktis atau kehati-hatian). Landasan lain dari Aristotelianisme adalah gagasan teleologi (gagasan bahwa segala sesuatu dirancang untuk, atau diarahkan menuju, hasil atau tujuan akhir).

Sebagaimana dikutip Saugat Adhikari (2019). Ada 10 kontribusi besar dari Aristoteles untuk pembangunan filsafat ilmu, yaitu:

A. Pelajaran Logika dari Silogisme Kategorikal.  Silogisme adalah suatu bentuk penalaran tertentu di mana suatu kesimpulan dibuat berdasarkan dua premis. Demikian pula proses deduksi logis ini ditemukan oleh Aristoteles. Dia adalah orang pertama yang menemukan prosedur autentik dan logis untuk menyimpulkan pernyataan berdasarkan proposisi. Proposisi atau premis ini disediakan sebagai fakta atau hanya diambil sebagai asumsi. Sebagai contoh: Socrates adalah seorang pria. Semua manusia fana. Kedua premis ini dapat disimpulkan sebagai “Socrates fana”. Logika di balik menemukan alasan berdasarkan proposisi dan inferensi yang memiliki sesuatu yang sama dengan proposisi tersebut cukup mudah. Kesederhanaannya yang deduktif dan kemudahan penggunaan melambungkan teori silogisme Aristoteles, sehingga dia memiliki pengaruh yang tak tertandingi pada sejarah logika dan penalaran Barat. Namun, di era pasca-Renaisans yang mengarah ke zaman modern, kita berhadapan dengan pendekatan logis yang lebih didasarkan pada deduksi matematis (dan jauh lebih akurat) dan lebih sedikit pada ketidakpastian tempat yang tidak masuk akal. Teori logis silogisme kategoris Aristoteles mencapai status yang membuatnya jauh lebih dari sekadar keingintahuan sejarah belaka.

B. Klasifikasi Makhluk Hidup.  Dalam bukunya, Historia Animalium atau History of Animals, Aristoteles adalah orang pertama dalam sejarah manusia yang menyusun klasifikasi hewan yang berbeda. Dia menggunakan sifat-sifat yang umum di antara hewan-hewan tertentu untuk  mengklasifikasikan mereka ke dalam kelompok yang serupa. Misalnya, berdasarkan keberadaan darah, dia menciptakan dua kelompok berbeda seperti hewan dengan darah dan hewan tanpa darah. Demikian pula, berdasarkan habitatnya, dia mengklasifikasikan hewan sebagai hewan yang hidup di air dan hewan yang hidup di darat. Dalam sudut pandangnya, kehidupan memiliki susunan hierarkis dan semua makhluk hidup dapat dikelompokkan dalam hierarki ini berdasarkan posisi mereka dari terendah ke tertinggi. Dia menempatkan spesies manusia tertinggi dalam hierarki ini. Dia juga menyusun nomenklatur binomial. Dengan menggunakan sistem ini, semua organisme hidup sekarang dapat diberi dua set nama berbeda yang didefinisikan sebagai “genus” dan “perbedaan” organisme. Aristoteles memaksudkan, genus makhluk hidup untuk mewakili keluarga/kelompok kolektifnya secara keseluruhan. Perbedaannya adalah apa yang membuat organisme hidup berbeda dengan anggota keluarga lain yang termasuk di dalamnya.

c. Pendirian Zoologi.  Aristoteles juga dikenal sebagai bapak Zoologi. Terbukti dari klasifikasi makhluk hidup, semua prosedur klasifikasi dan beberapa risalah lain hanya melibatkan spesies hewan kerajaan saja. Namun, dia menulis sejumlah risalah yang berputar di sekitar berbagai aspek zoologi juga. Beberapa risalahnya yang populer seperti sejarah hewan, gerakan hewan, perkembangan hewan, dan lainnya didasarkan pada studi berbagai hewan darat, air, dan udara. Tidak seperti pendahulunya yang hanya mendokumentasikan pengamatan rutin mereka tentang alam, Aristoteles menguraikan teknik-teknik khusus yang akan dia gunakan untuk melakukan pengamatan khusus. Dia menggunakan metode empiris ini untuk melakukan apa yang bisa kita sebut di zaman modern sebagai “designation”, termasuk digunakan sebagai tes proto-ilmiah dan eksperimen untuk mempelajari flora dan fauna di sekitarnya. Salah satu eksperimen pengamatan awalnya termasuk membedah telur burung selama berbagai tahap perkembangan embrionik di dalam telur. Dengan menggunakan pengamatannya, dia dapat mempelajari pertumbuhan terperinci organ yang berbeda ketika em-brio berkembang menjadi anak yang sepenuhnya menetas.

d. Kontribusi dalam Fisika. Studi Aristoteles dalam fisika tampaknya sangat dipengaruhi oleh ide-ide pra-mapan para pemikir Yunani kontemporer sebelumnya. Sebagai contoh, dalam risalahnya tentang Generation and Corruption and On the Heavens, pengaturan dunia yang dia gambarkan memiliki banyak kesamaan dengan proposisi yang dibuat oleh beberapa ahli teori era pra-Sokrates. Dia menganut pandangan Empedocles tentang susunan alam semesta bahwa segala sesuatu diciptakan dari komposisi berbeda dari empat elemen mendasar: bumi, air, udara, dan api. Demikian pula, Aristoteles percaya bahwa segala jenis perubahan berarti sesuatu bergerak. Dengan cara yang agak kontradiktif dengan diri sendiri (setidaknya penafsir awal menganggapnya demikian), dia mendefinisikan gerak apa pun sebagai aktualitas potensi. Secara keseluruhan, Aristoteles memahami fisika sebagai bagian dari ilmu teori yang selaras dengan filsafat alam. Mungkin istilah yang lebih sinonim untuk melampirkan interpretasi Aristoteles akan menjadi “physis” atau hanya studi tentang alam.

e. Pengaruh dalam Sejarah Psikologi. Aristoteles adalah orang pertama yang menulis buku yang berhubungan dengan spesifik psikologi: De Anima atau On the Soul. Dalam buku ini, dia mengusulkan gagasan abstraksi yang berkuasa atas tubuh dan pikiran manusia. Tubuh dan pikiran ada dalam wujud yang sama dan terjalin sedemikian rupa sehingga pikiran adalah salah satu dari banyak fungsi dasar tubuh. Da-lam analisis psikologis yang lebih perinci, ia membagi kecerdasan manusia menjadi dua kategori penting: kecerdasan pasif dan kecerdasan aktif. Menurut Aristoteles, adalah sifat manusia untuk meniru sesuatu yang, bahkan jika pada tingkat yang dangkal, memberi kita rasa kebahagiaan dan kepuasan. Mungkin puncak dari pengamatan psikologisnya adalah hubungan halus yang mengikat psikologi manusia dengan fisiologi manusia. Kontribusinya adalah lompatan besar dari psikologi era pra-ilmiah yang mendahuluinya dan membawa kita ke era analisis kualitatif dan kuantitatif yang jauh lebih tepat.

f. Kemajuan dalam Meteorologi. Untuk waktu dan usianya, Aristoteles dapat mengajukan analisis yang sangat perinci tentang dunia di sekitarnya. Saat ini, istilah “meteorologi” secara khusus mencakup studi ilmiah interdisipliner atmosfer dan cuaca. Tetapi Aristoteles memiliki pendekatan yang jauh lebih umum di mana dia juga membahas berbagai aspek dan fenomena udara, air, dan bumi dalam risalahnya Meteorologica. Dalam risalah ini, dengan kata-katanya sendiri, dia menjabarkan perincian “kasih sayang yang berbeda” yang umum antara udara dan air, serta bagian-bagian bumi yang berbeda, dan kasih sayang yang mengikat bagian-bagian itu bersama-sama. Yang menarik dari risalah Meteorologica-nya adalah laporannya tentang penguapan air, gempa bumi, dan fenomena cuaca umum lainnya. Analisisnya tentang kejadian meteorologis yang berbeda ini adalah salah satu representasi paling awal dari fenomena tersebut, meskipun itu tidak banyak bicara tentang keakuratan studi meteorologisnya. Aristoteles percaya pada keberadaan “angin bawah tanah” dan bahwa angin dan gempa bumi disebabkan oleh mereka. Demikian pula, dia mengategorikan guntur, kilat, pelangi, meteor, dan komet sebagai fenomena atmosfer yang berbeda.

g. Etika. Upaya untuk meringkas detail kaya etika Aristotelian dalam batasan beberapa paragraf tidak akan adil. Karena itu, hean Ethics menonjol sebagai sorotan utama interpretasi Aristoteles. Ini melambangkan karya paling terkenal tentang etika oleh Aristoteles: koleksi sepuluh buku berdasarkan catatan yang diambil dari berbagai kuliahnya di Lyceum. Etika Nicomachean menjabarkan pemikiran Aristoteles tentang berbagai kebajikan moral dan perinciannya ma-sing-masing. Etika Aristotelian menguraikan berbagai perbedaan sosial dan perilaku dari pria yang ideal. Misalnya, kepercayaan diri yang ditanggungnya dalam menghadapi ketakutan dan kekalahan muncul sebagai keberanian, kemampuan untuk menahan godaan kesenangan fisik menonjol ketika kesederhanaan, kebebasan, dan kemegahan seseorang berbicara tentang volume kekayaan yang dapat diberikan seseorang untuk kesejahteraan orang lain, dan ambisi apa pun tidak akan pernah benar-benar murah hati kecuali mencapai keseimbangan sempurna antara kehormatan yang dijanjikannya dan iuran yang dibayarnya. Ini, bersama dengan kutipan-kutipan penting lainnya, membangun landasan bagi upaya Aristoteles dalam etika. Dalam esensi etis ini, Aristoteles percaya bahwa “terlepas dari berbagai pengaruh orang tua, masyarakat, dan alam kita, kita sendiri adalah satu-satunya perawi jiwa kita dan keadaan aktif mereka.”

h. Aristotelianisme. Aristotelianisme adalah contoh terbesar dari pengaruh filsafat Aristotelian terhadap paradigma filosofis selanjutnya. Aristotelianisme mewakili tradisi filosofis yang berakar dari berbagai karya Aristoteles dalam filsafat. Rute filsafat konvensional sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek ideologi Aristoteles termasuk pandangannya tentang metodologi filosofis, epistemologi, metafisika, estetika, etika, dan banyak lagi. Faktanya tetap bahwa ide-ide Aristoteles telah berurat berakar dalam struktur pemikiran sosial dan komunal dari banyak peradaban yang mengikuti di dunia Barat. Karya-karya filosofisnya pertama kali dilatih dan dipertahankan oleh anggota sekolah Peripatetic. Neoplatonis mengikutinya segera setelah itu dan membuat komentar kritis yang terdokumentasi dengan baik pada tulisan-tulisan populernya. Sejarawan juga menunjukkan referensi utama untuk Aristotelianisme dalam filsafat Islam awal di mana para filsuf Islam kontemporer seperti al-Kindi, al-Farabi dan yang lainnya menerjemahkan dan memasukkan karya Aristoteles ke dalam pembelajaran mereka.

i. Politik. Kata “politik” berasal dari kata Yunani polis yang di Yunani kuno berarti negara kota. Aristoteles percaya bahwa polis mencerminkan strata tertinggi dari asosiasi politik. Menjadi warga negara suatu polis sangat penting bagi seseorang untuk menjalani kehidupan yang berkualitas baik. Mendapatkan status ini berarti bahwa seorang warga negara perlu membuat koneksi politik yang diperlukan untuk mengamankan tempat tinggal permanen. Dalam pandangan Aristoteles, pengejaran ini menunjukkan fakta bahwa “manusia adalah binatang politik.” Tanpa ragu, berbagai usaha kehidupan Aristoteles membantu membentuk ketajaman politiknya dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh pendahulunya dan sezamannya. Petualangan progresifnya dalam biologi flora dan fauna alami cukup terlihat dalam naturalisme politiknya. Dia membagi polis dan konstitusi masing-masing menjadi enam kategori, di mana tiga dia menilai baik dan tiga sisanya buruk. Dalam pandangannya, yang baik adalah pemerintahan konstitusional, aristokrasi, dan raja, dan yang buruk termasuk demokrasi, oligarki, dan tirani. Dia percaya bahwa penilaian politik seseorang secara langsung tergantung pada kontribusi mereka dalam membuat kehidupan polis mereka lebih baik.

j.      Puisi. Banyak catatan pandangan Aristoteles tentang seni dan puisi, seperti banyak dokumen lain dari karya filosofis dan sastra, disusun sekitar 330 SM. Sebagian besar ada dan bertahan hingga hari ini karena mereka dicatat dan dilindungi oleh murid-muridnya selama kuliah. Wawasan Aristoteles tentang puisi terutama berputar di sekitar drama. Selama periode kemudian ketika Aristotelianisme mendapatkan lebih banyak landasan di seluruh dunia, pandangan awalnya tentang drama dibagi menjadi dua segmen terpisah. Bagian pertama berfokus pada tragedi dan epik, dan bagian kedua membahas berbagai detail komedi. Menurut Aristoteles, tragedi yang baik harus melibatkan penonton dan membuat mereka merasa katharsis (rasa penyucian melalui belas kasihan dan ketakutan).

4.  Kesimpulan Sudah lebih dari 2.300 tahun sejak hari terakhir era Aristoteles di Yunani kuno, namun penelitian dan karya Aristoteles tetap berpengaruh hari ini seperti sebelumnya. Dari bidang yang condong ke arah orientasi ilmiah struktural seperti fisika dan biologi, hingga detail kecil tentang sifat pengetahuan, realitas, dan keberadaan, kontribusi serba-banyaknya yang beragam benar-benar menjadikannya salah satu orang paling berpengaruh dalam sejarah manusia

Peran Pemerintah diperlukan dalam Mengatasi Perselisihan dalam Organisasi Advokat di Indonesia

Diperlukan satu wadah baru yang memiliki kewenangan a quo yang berguna untuk memisahkan antara pengertian yang sebenarnya dari suatu organisasi advokat, dan berkaca kembali dalam kenyataan jika diserahkan secara keseluruhan pembentukan tersebut akan kembali menimbulkan perebutan kembali siapa yang berhak untuk membentuk wadah tersebut, maka di sinilah peran pemerintah sebagai penengah. Dengan peran penengah tersebut, pembentukan kepengurusan organisasi advokat tetap diserahkan kembali kepada para advokat atau organisasi advokat itu sendiri. Ini dimaksudkan agar tetap menegaskan peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab.

Peran pemerintah dalam pembentukan wadah tunggal tersebut tidaklah bertentangan jika dibenturkan dengan kebebasan dan kemandirian sebagaimana juga yang diinginkan oleh Undang- Undang Advokat. Sebagaimana diketahui, kebebasan berserikat (rights to associate) untuk maksud-maksud damai adalah hak yang tergolong non derogable sehingga negara tidak dapat menghalangi orang untuk berserikat. Namun, negara dengan otoritasnya dapat berpraduga adanya maksud-maksud jahat dari adanya perserikatan, pemahaman ini jika dikaitkan dengan kondisi tentang permasalahan internal yang dialami oleh organisasi advokat yang ada di Indonesia, tentunya akan merugikan tidak hanya merugikan bagi advokat itu sendiri, namun juga bagi masyarakat umum karena tidak bisa mendapatkan kepastian hukum tentang bagaimanakah pengaturan hukum yang sebenarnya berkaitan dengan organisasi advokat.

Pemerintah dapat dipahami melalui fungsi pemerintah berupa kegiatan-kegiatan yang harus dapat dilakukan oleh pemerintah, serta organisasi pemerintahan yang melaksanakan fungsi pemerintahan tersebut. Admnistrasi negara memiliki tiga arti,yaitu pertama sebagai aparatur negara, aparatur pemerintah, dan institusi politik. Dalam hal ini administrasi negara diartikan sebagai administrasi dari negara sebagai suatu organisasi. Kedua adalah aktivitas melayani, pemerintah sebagai kegiatan operasional pemerintah, dan ketiga, administrasi negara sebagai suatu proses teknis penyelenggaraan undang-undang. Dua arti pertama tersebut memiliki makna keterlibatan yang penting dari masyarakat/warga negara. Sebagai aparatur tentunya terdapat hak warga negara untuk langsung berada dalam jabatan tersebut. Sebagai aktivitas melayani, tentunya hak pelayanan public merupakan hak warga negara dalam pemerintahan. Dalam teknis penyelenggaraan undang-undang pemerintah wajib memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai hal utama. Hal ini dikenal dengan istilah interaksi dalam pembangunan atau komunikasi politik..

Dengan masuknya pemerintah untuk menengahi permasalahan yang terjadi dalam Undang-Undang Advokat maka upaya menciptakan negara hukum dapat diupayakan sejalan dengan tujuan dibentuknya Undang-Undang Advokat itu sendiri. Konsep negara hukum mengalami pertumbuhan yang ditandai dengan adanya konsep negara hukum modern (welfare state) di mana negara tidak boleh lagi pasif tetapi juga harus aktif turut serta dalam kegiatan masyarakat, sehingga kesejahteraan bagi masyarakat terjamin114. Hal ini menunjukkan adanya perubahan paradigma sejauh mana tanggung jawab negara untuk mencapai kesejahteraan bagi masyarakatnya. Dengan masuknya pemerintah dengan melakukan pembentukan wadah tunggal yang memiliki kewenangan a quo, maka dalam hal ini konsep negara hukum lebih maju dan berkembang sesuai dengan keinginan masyarakat. Hal ini sesuai pula dengan pendapat dari Bagir Manan yang menyatakan bahwa negara hukum modern adalah perpaduan antara Negara hukum dan negara kesejahteraan, sehingga negara tidak hanya sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat akan tetapi juga sebagai yang bertanggung jawab untuk mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan sebesar besarnya kemakmuran rakyat.