APA ITU UPAYA HUKUM BIASA DI PENGADILAN PERDATA

Maret 29, 2023

Upaya hukum biasa pada asasnya terbuka untuk setiap pu­tusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang, wewenang untuk menggunakannya hapus dengan me­nerima putusan. Yang termasuk kategori upaya hukum biasa adalah perlawanan (verzet), banding, dan kasasi.

a.   Verzet (Perlawanan)

Perlawanan (verzet) adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan pengadilan tanpa hadirnya pihak tergugat (ver­stek), hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 125 dan Pasal 129 HIR/Pasal 149 dan Pasal 153 RBg., pada asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang dikalahkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 129 ayat (1) HIR dan 83 Rv, yang berhak meng­ajukan verzet hanya tergugat, sedangkan penggugat tidak berhak mengajukan upaya hukum tersebut, dengan demikian jika gugatan penggugat ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, maka upaya hukum yang dapat diajukan oleh penggugat adalah banding. Upaya hukum verzet dapat diproses secara elektronik,  dalam hal tergugat mengajukan verzet sedangkan penggugat mengajukan upaya hukum banding maka permohonan banding dari penggugat dinyatakan gugur.

Apabila setelah dilakukan verzet ternyata pelawan/tergu­gat asli kembali dikalahkan dengan verstek, maka ia tidak dapat lagi melakukan verzet, melainkan harus mengajukan banding atas putusan itu. Dalam perkara verzet, gugatan awal diperiksa kembali seperti perkara semula. Perlawanan dapat diajukan da­lam tenggang waktu sebagai berikut:

1.   Perlawanan dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan putusan verstek diterima tergugat secara pribadi;

2.   Jika putusan verstek itu tidak diberitahukan langsung kepada tergugat, maka perlawanan masih dapat diajukan sampai hari ke-8 (delapan) setelah aanmaning untuk melaksanakan putusan verstek itu; atau

3.   Apabila tergugat tidak datang menghadap ketika aanmaning, perlawanan tergugat dapat diajukan sampai hari ke-8 sesudah putusan verstek dijalankan.

Dalam perkara verzet kedudukan para pihak secara formil terdiri dari pelawan dan terlawan. Namun pada hakikatnya pi­hak pelawan dalam perkara verzet selalu diikuti dengan kedu­dukannya dalam perkara asal yakni sebagai tergugat asal, se­dangkan terlawan kedudukannya dalam perkara asal adalah se  bagai penggugat asal. Pihak yang dapat ditarik sebagai terla-wan dalam perkara verzet hanya sebatas pihak penggugat dalam perkara asal, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 434 K/Pdt/1983.

b.   Banding

Upaya hukum banding dilakukan oleh pihak penggugat dan/atau tergugat yang tidak menerima suatu putusan peng­adilan tingkat pertama karena merasa hak-haknya dirugikan oleh putusan tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947, Pasal 199 RBg., dan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, upaya hukum banding hanya dapat diajukan oleh pihak yang bersangkut­an. Banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan dibacakan atau 14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan putusan apabila para pihak tidak hadir saat putusan dibacakan. Terhadap permohonan banding yang melewati waktu tetap dapat dicatat, namun panitera membuat surat keterangan bahwa permohonan banding telah melewati waktu.

Setelah permohonan banding diterima oleh panitera, maka selambat-lambatnya 14 hari setelah permintaan banding itu diterima, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk meme­riksa berkasnya di Pengadilan Agama sebagaimana ketentuan Pa­sal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 dan Pasal 202 RBg.. Kedua belah pihak boleh memasukkan bukti-bukti baru sebagai bagian dari alasan permohonan banding dengan keten­tuan turunan bukti-bukti baru tersebut juga diberikan kepa­da pihak lawan melalui perantaraan aparatur pengadilan yang ditunjuk (petugas Pelayanan Terpadu Satu Pintu [PTSP]).

Dalam upaya hukum banding, pembanding dapat meng­aju­kan memori banding, sedang terbanding dapat menjawab memori banding tersebut dengan mengajukan kontra memori ban­ding. Memori banding tidaklah merupakan keharusan, undang-undang tidak mewajibkan pembanding untuk mengajukan me­mori ban­ding, dan juga tidak ada batas waktu kapan memori banding ha­rus diserahkan kepada pengadilan selama perkara belum di­putus oleh pengadilan tinggi agama, memori banding dan kon­tra memori banding masih bisa diserahkan. Hanya saja dalam upaya hukum banding secara elektronik maka memori banding dan kontra memori banding hanya dapat diserahkan secara elek­tronik selama berkas perkara belum dikirimkan melalui SIP ke Pengadilan Tinggi Agama. Dalam hal pembanding menyerahkan memori banding atau terbanding menyerahkan kontra memori banding setelah berkas perkara dikirimkan secara elektronik, maka pengadilan agama pengaju meminta pihak tersebut untuk mengirimkan langsung ke pengadilan tinggi agama dan pihak lawan.

Pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan ulangan (ju­dex factie) memiliki kewenangan untuk memeriksa kembali per­kara tersebut baik dengan menyelenggarakan sendiri proses  pemeriksaannya atau membuat putusan sela dengan meme­rin­tahkan pengadilan tingkat pertama memeriksa kembali per­kara tersebut. Jadi salah jika hakim pengadilan tinggi agama memu­tus dengan putusan akhir dengan amar memerintahkan peng­adilan tingkat pertama membuka persidangan dan memutus kembali perkara tersebut.

Berdasarkan putusan sela yang dijatuhkan oleh pengadilan tinggi agama, pengadilan agama melakukan pemeriksaan tam­bahan sesuai dengan maksud putusan sela tersebut dan hasil pemeriksaan dituangkan di dalam Berita Acara Sidang (BAS) se­bagai bagian dari Bundel A. Adapun proses pemeriksaan perkara di Pengadilan Tinggi Agama yang tidak termasuk pemeriksaan tambahan terhadap para pihak dituangkan di dalam BAS yang menjadi bagian Bundel B dan disimpan di Pengadilan Tinggi Agama. Hal demikian sesuai dengan hasil rapat pleno kamar agama angka angka 5 huruf (a) dan huruf (b) yang diberlakukan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2021 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

Upaya hukum banding wajib diajukan secara elektronik melalui Sistem Informasi Pengadilan (SIP). Apabila pembanding mengajukan upaya hukum banding secara langsung, panitera pengadilan agama pengaju membantu pemohon banding untuk menuangkan permohonannya secara elektronik dengan cara mengunggah akta permohonan banding dari pemohon ke dalam SIP.

Penyampaian pemberitahuan permohonan banding, pengi­riman dan penyerahan memori banding, pengiriman dan penye­rahan kontra memori banding, dan pemberitahuan pelaksana­an inzage dilakukan secara elektronik. Bagi pembanding dan/atau terbanding yang tidak memiliki domisili elektronik, pem­beritahuan dilakukan melalui surat tercatat. Inzage dilakukan secara elektronik melalui SIP, sedangkan bagi pihak yang sejak awal tidak menyetujui sidang secara elektronik, inzage dilakukan melalui meja e-court.

Pengadilan pengaju mengirimkan berkas perkara paling lam­bat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak permohonan banding di­terima. Setelah berkas perkara dikirimkan, penyerahan memori banding dan/atau kontra memori banding sudah tidak dapat lagi diterima secara elektronik.

Kepaniteraan pengadilan tinggi agama memeriksa keleng­kapan berkas perkara. Jika terdapat kekurangan berkas perkara, pengadilan tinggi agama memberitahukan kekurangan tersebut secara elektronik kepada pengadilan agama pengaju. Keleng­kapan berkas perkara dikirimkan oleh pengadilan agama peng­aju secara elektronik melalui SIP.

Majelis hakim pada pengadilan tinggi agama memeriksa dan menyidangkan perkara melalui SIP. Dalam hal, majelis hakim pada pengadilan tinggi agama berpendapat perlu dilakukan pemeriksaan tambahan, majelis hakim memerintahkan melalui putusan sela secara elektronik kepada pengadilan agama pengaju untuk melakukan pemeriksaan tambahan. Hasil pemeriksaan tambahan tersebut dituangkan di dalam berita acara yang men­jadi bagian dari bundel A, kemudian dikirim secara elektronik ke Pengadilan Tinggi Agama.

Sebagai judex factie, jika pengadilan tinggi agama meman­dang perlu dilakukan pemeriksaan tambahan, juga bisa melaku­kan langsung pemeriksaan dengan cara memerintahkan peng­adilan agama memanggil para pihak agar datang menghadap ke persidangan pengadilan tinggi agama. Adapun cara pelaksanaan persidangan, dimungkinkan para pihak datang ke ruang sidang di pengadilan tinggi agama atau juga dimungkinkan persidang­an dilakukan secara jarak jauh, di mana majelis hakim bersi­dang dari ruang sidang pengadilan tinggi agama, sedangkan para pihak mengikuti persidangan dari ruang sidang pengadilan agama setempat.

Pembanding dapat mengajukan pencabutan permohonan upaya hukum banding melalui SIP. Apabila permohonan pen­cabutan banding diajukan sebelum pengiriman berkas perkara ke pengadilan tinggi agama, pengadilan agama pengaju tidak mengirimkan berkas perkara tersebut dan kepaniteraan peng­adilan agama pengaju menerbitkan akta pencabutan secara elektronik. Namun apabila pencabutan diajukan setelah berkas perkara dikirimkan ke pengadilan tinggi agama, permohonan pencabutan tersebut diputus oleh majelis hakim tingkat banding dengan penetapan.

Putusan diucapkan oleh majelis hakim pengadilan tinggi agama secara elektronik dengan cara mengunggah naskah pu­tusan ke dalam SIP, kemudian panitera mencocokkan naskah putusan tersebut dengan putusan asli yang telah ditandatanga­ni majelis hakim dan panitera sidang. Setelah naskah putusan tersebut dipastikan sesuai dengan putusan asli, maka panitera membubuhkan tanda tangan secara elektronik pada naskah pu­tusan tersebut sebagai salinan putusan elektronik. Panitera  yang tidak sedang berhalangan tetap berwenang untuk menan­datangani salinan putusan secara elektronik.

Panitera pengadilan tinggi agama mengirimkan Salinan putusan secara elektronik kepada pengadilan agama pengaju. Pengadilan agama pengaju menyampaikan pemberitahuan pu­tusan kepada pembanding atau terbanding secara elektronik melalui SIP. Dalam hal pembanding dan/atau terbanding tidak memiliki domisili elektronik, maka pemberitahuan disampaikan melalui surat tercatat.

c.   Kasasi

Kasasi merupakan wewenang Mahkamah Agung untuk me­meriksa kembali putusan-putusan pengadilan tingkat pertama atau banding dan ini merupakan tingkat peradilan yang terakhir. Tugas pengadilan kasasi adalah menguji putusan pengadilan di bawahnya tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, di antara tugas dan kewenangan Mahkamah Agung ada­lah memeriksa dan memutus permohonan kasasi. Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan peng­adil­an tingkat banding atau putusan akhir dari semua lingkungan peradilan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu perkara dapat mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain. Untuk mengajukan kasasi bagi seorang kuasa diperlukan surat kuasa khusus.

Permohonan kasasi diajukan kepada panitera Pengadilan Agama di tempat pertama sekali putusan itu dijatuhkan. Per­mohonan kasasi dapat diajukan baik secara lisan maupun tertulis, namun dalam praktik sekarang ini permohonan kasasi selalu diajukan secara tertulis. Tenggang waktu untuk mengajukan kasasi adalah 14 hari setelah putusan Pengadilan Tinggi Agama disampaikan kepada yang bersangkutan atau 14 hari setelah penetapan dibacakan (dalam perkara volunteir). Dalam waktu 14 hari terhitung sejak menyatakan kasasi, pemohon kasasi harus menyerahkan memori kasasi. Apabila memori kasasi tersebut tidak dibuat maka permohonan kasasi akan dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat. Termohon kasa­si dapat menyampaikan kontra memori kasasi dalam teng­gang waktu 14 hari sejak memori kasasi disampaikan kepadanya. Kon­tra memori kasasi yang disampaikan melebihi tenggang waktu tersebut tidak dapat di pertimbangkan lagi.

Permohonan kasasi untuk semua jenis perkara harus di­ajukan secara elektronik dengan menggunakan SIP. Dalam hal pemohon kasasi atau peninjauan kembali datang langsung ke pengadilan, maka sepanjang permohonan tersebut telah meme­nuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, panitera mem­bantu menuangkan permohonan tersebut secara elektronik un­tuk selanjutnya dibuatkan akta permohonan kasasi.

Panitera pengadilan agama pengaju memberitahukan per­mo­honan kasasi dan peninjauan kembali kepada termohon pa­ling lambat 5 (lima) hari setelah permohonan didaftarkan. Apa­bila termohon memiliki domisili elektronik, maka pemberita­huan dikirimkan secara elektronik dan jika termohon tidak me­mi­li­ki domisili elektronik, maka pemberitahuan disampaikan secara langsung.

Pemohon mengirimkan memori kasasi secara elektronik me­lalui SIP. Dalam hal termohon kasasi belum terdaftar sebagai pengguna SIP, panitera pengadilan agama pengaju wajib mem­bantu termohon melakukan pendaftaran pengguna SIP, mela­kukan pemindaian kontra memori kasasi dan mengung gahnya ke dalam SIP.

Panitera menyampaikan pemberitahuan kepada para pihak bahwa berkas perkara telah lengkap dan para pihak memiliki ke­sempatan untuk memeriksa kelengkapan berkas perkara paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan diterima. Apabila berkas perkara belum tersedia dalam bentuk elektronik, maka Pengadilan Agama pengaju wajib menyediakannya dengan me­lakukan pemindaian dokumen cetak yang sudah tersedia.

Pemohon kasasi dapat mencabut permohonan kasasi secara elektronik melalui SIP sebelum perkara diputus oleh majelis ha­kim agung dan permohonan kasasi yang telah dicabut, tidak dapat diajukan kembali. Apabila permohonan pencabutan diaju­kan sebelum berkas perkara dikirimkan ke Mahkamah Agung, maka pengadilan agama pengaju tidak mengirimkan berkas per­kara dan biaya proses yang harus dikirimkan ke Mahkamah Agung dikembalikan kepada pemohon. Adapun apabila berkas per­kara telah dikirimkan, Panitera Pengadilan Agama pengaju me­ngi­rim­kan notifikasi pencabutan perkara kepada majelis hakim agung melalui SIP.

Panitera pengadilan agama pengaju mengirimkan keleng­kapan berkas perkara kasasi dalam bentuk elektronik ke Mahka­mah Agung. Sebelum mengirimkan berkas perkara, Panitera Pengadilan Agama pengaju harus memeriksa dan menyatakan kelengkapan berkas perkara dengan menandatangani surat per­nyataan kelengkapan berkas perkara secara elektronik. Berkas perkara telah dikirim paling lambat 3 (tiga) hari setelah tenggat waktu inzage berakhir.

Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 mengatur bahwa permohonan kasasi hanya dapat diajukan dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1)   Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

2)   Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; dan

3)   Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Dari alasan-alasan tersebut di atas dapatlah kita ketahui bahwa dalam tingkat kasasi tidak diperiksa lagi tentang duduk perkara atau faktanya, tetapi fokus tentang penerapan hukum­nya. Pemeriksaan permohonan kasasi meliputi seluruh putusan mengenai pertimbangan hukumnya, baik yang merugikan pe­mohon kasasi maupun bagian yang menguntungkan pemohon kasasi.

RSS
Follow by Email
WhatsApp