Tag: maalaatul af’aal
Pengertian, Terminologi dan Dalil MAALAATUL AF’AAL
1. Pengertian Secara Etimologi
Maalaatul af’aal di dalam ilmu Nahwu dikenal dengan istilah tarkib idhafy yang terdiri dari dua kata yaitu, “maalaat” (تلاآم) dan “af’aal” (لاعفأ). Kata maalaat merupakan bentuk jama`/plural dari kata “maal” (لآم), merupakan bentuk isim makan dari kata لاآم – لاوأ – لوؤي – لآ, yang berarti tempat kembali sama persis seperti kata اعجرم – عجري – عجر, maka kata “maal” dengan kata “marja`” dua kata yang memiliki kesamaan makna dan wazan.1
Adapun kata “af’aal” adalah bentuk jamak dari kata fi`lun (لعف) yang berarti perbuatan.2 Adapun kata “maalaatul af’aal” dapat diartikan dengan tempat kembali atau berakhirnya sebuah perbuatan atau tindakan.
2. Pengertian Secara Terminologi
Kata “maalaatul af’aal” secara terminologinya dapat dipahami sebagai upaya melirik atau memprediksi akibat yang akan ditimbulkan oleh sebuah permasalahan atau tindakan apakah akibatnya baik sehingga perbuatan itu dibolehkan dan dianjurkan, atau justru berakibatkan kepada kemudaratan dan menimbulkan kerusakan, atau mengakibatkan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-Prinsip dasar Islam dan maqashid syari’ah sehingga perbuatan tersebut menjadi terlarang.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa teori maalaatul af’aal fokusnya pada melirik akibat yang akan ditimbulkan oleh suatu perbuatan yang akan berpengaruh pada penentuan hukum bagi perbuatan tersebut. Tentu saja prediksi tersebut tidaklah sekadar dugaan tanpa alasan, akan tetapi sesuatu yang diyakini atau setidaknya mendekati kepada keyakinan. Prediksi seperti yang disebutkan bukanlah sesuatu yang mengada-ada dalam penentuan hukum, sebab ia memiliki legitimasi syar’i yang sangat kuat baik dari Al-Qur’an maupun dari Hadis Nabi.
Legalitas konsep maalaatul af’aal dapat dilihat pada beberapa dalil berikut ini:
Pertama, Al-Qur’an al-Karim.
Allah Swt. berfirman:
“Dan janganlah kalian mencaci maki mereka yang menyembah selain Allah lalu mereka mencaci Allah dengan penuh kebencian dan tanpa ilmu”, (QS. al-An`aam [8]: 108)
Ayat ini adalah salah satu dari firman Allah yang memberikan legitimasi konsep maalaat. Sebab padanya terdapat larangan untuk memaki mereka yang menyembah patung dikarenakan mereka akan membalas dengan cacian yang sama bahkan lebih terhadap Allah. Meskipun hukum asal dari memaki-maki sesembahan orang jahiliah boleh-boleh saja, akan tetapi jika dengan melakukan hal itu akan menimbulkan mudarat yang lebih besar maka ia menjadi terlarang.
Substansi yang sama dapat dilihat pada firman Allah berikut ini:
“Adapun perahu tersebut adalah milik orang-orang miskin yang bekerja sebagai nelayan di laut, maka saya bermaksud merusaknya karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas semua perahu”. (QS. al-Kahfi [9]: 79)
Ayat ini menceritakan tentang sikap dan tindakan Nabi Khidir yang dianggap aneh oleh Nabi Musa alaihissalam, di mana beliau membocorkan sebuah perahu yang baru saja mengantarkan mereka dengan selamat menyeberangi sebuah sungai. Sementara sampan itu sendiri bukan milik mereka akan tetapi milik nelayan miskin. Nabi Musa sangat mengerti bahwa merusak milik orang lain tanpa alasan yang jelas merupakan satu tindakan yang salah dan bertentangan dengan akal dan syariat, akan tetapi tindakan itu diambil oleh Nabi Khidir meskipun secara lahir akan merugikan orang miskin tersebut sebagai pemiliki barang, namun di balik itu semua ada satu kemaslahan besar yang akan dirasakan oleh si pemilik yaitu terhindarnya dari pengambilan paksa yang dilakukan oleh seorang penguasa yang zalim. Tindakan Nabi Khidir yang terdapat pada ayat di atas merupakan legitimasi syar’i untuk konsep maalaatul af’aal, sebab tidak diragukan lagi bahwa mengambil risiko yang ringan jika akan dapat menolak kemudaratan yang jauh lebih besar adalah sesuatu yang terpuji dalam pandangan syariat. Maka bocornya sampan akan dapat diatasi dengan cara memperbaikinya, sedangkan ketiadaan sampan Karena dirampas akan menghilangkan semua harapan.3
Hal yang sama juga dapat dilihat pada firman Allah berikut ini:
“Dan mereka (orang-orang munafik itu) yang mendirikan masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang yang beriman), untuk kekafiran dan memecah belah di antara orang-orang beriman, serta untuk menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka dengan pasti bersumpah kami hanya menghendaki kebaikan, dan Allah menjadi saksi bahwa mereka itu adalah pendusta”. (QS. at-Taubah[7]: 107).
Di dalam ayat ini Allah Swt. mencela perbuatan orang-orang munafik yang membangun sebuah masjid dengan tujuan yang tidak baik yaitu untuk memecah belah umat Islam, meskipun mereka bersumpah bahwa yang mereka inginkan hanyalah kebaikan. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa satu perbuatan yang meskipun secara lahir adalah baik namun bisa saja menjadi tercela dan dilarang disebabkan oleh niat dan tujuan yang tidak baik. Membangun masjid adalah satu kebaikan yang dianjurkan, akan tetapi jika akan menimbulkan bencana dan perpecahan di kalangan umat Islam maka harus dihentikan. Itulah sebabnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyuruh untuk membakar dan menghancurkan masjid tersebut.4
Inilah tiga dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang dapat memperkuat teori maalaatul af’aal yang harus selalu dipertimbangkan dalam menetapkan sebuah hukum dalam berijtihad.
Kedua, Sunnah atau Hadis
Legalitas pertimbangan maalaatul af’aal dalam menetapkan sebuah hukum juga diperkuat oleh Sunnah atau Hadis Nabi. Setidaknya dapat dilihat pada beberapa riwayat berikut ini.
Hadis Nabi yang berkaitan dengan anjuran untuk melihat perempuan yang akan dipinang.
Dari al-Mughirah bin Syu`bah (r.a.) ia berkata: saya meminang seorang perempuan pada masa Rasul, kemudian beliau berkata: apakah engkau sudah melihatnya? Saya menjawab: belum, lalu beliau berkata: lihatlah dia karena dengan cara demikian dapat membuat keluarga kamu bertahan lama. (HR. an-Nasai)6
Dari Hadis ini dapat disimpulkan bahwa melihat wanita yang akan dipinang merupakan sesuatu yang disunahkan oleh Rasulullah Saw., karena dengan cara itulah seorang laki- laki akan dapat mengenali siapa yang akan dia nikahi, yang diharapkan akan membuat hubungan pernikahannya dapat langgeng dan bertahan lama, padahal jika kita kembalikan kepada hukum asalnya maka memandang kepada Wanita yang bukan mahram merupakan sesuatu yang terlarang dalam agama, dikarenakan oleh hal itu merupakan pintu fitnah dan dapat menjerumuskan kepada hal diharamkan. Di sinilah konsep maalaatul af’aal menemukan atmosfernya, sehingga satu perbuatan meskipun hukum asalnya merupakan sesuatu yang dilarang akan tetapi tetap dapat dibolehkan jika akan membawa kepada kemaslahatan yang sesungguhnya atau membawa kepada apa yang ingin dicapai oleh maqashid syari’ah 5.
Hadis Nabi terkait larangan memanjangkan bacaan shalat oleh seorang imam.
Dari Abu Mas`ud al-Anshari (ra) ia berkata: telah datang kepada Rasulullah. seorang pemuda lalu ia berkata: wahai Rasulullah, demi Allah sungguh saya akan senantiasa terlambat datang ke tempat shalat disebabkan oleh ulah si fulan yang senantiasa memanjangkan bacaan shalatnya untuk kami, lalu Abu Mas’ud berkata: saya tidak pernah melihat Rasulullah Saw. marah saat memberi nasihat melebihi marahnya saat itu. Kemudian Nabi berkata: wahai sekalian manusia sesungguhnya di antara kalian ada yang suka menjauhkan orang lain (dari agamanya), maka siapa saja di antara kalian yang menjadi imam dalam shalat maka hendaklah ia meringkaskan bacaan ayatnya, karena sesungguhnya di antara mereka ada yang sudah tua, ada orang yang lemah, dan juga ada yang memiki keperluan” (HR. Iama al-Bukhari)
Seperti yang dipahami bersama bahwa shalat merupakan satu ibadah yang dapat menenangkan hati dan jiwa serta mendekatkan diri pelakunya kepada Allah Swt., sehingga berdiri lama mengerjakannya merupakan sesuatu yang terpuji dan bahkan menjadi kebiasaan Nabi. Namun lain halnya ketika ia mengimami umat manusia dengan shalatnya, ia tidak diperkenankan membaca dengan bacaan yang panjang karena dikhawatirkan akan menyakiti fisik dan perasaan makmum yang di belakangnya yang mungkin saja di antara mereka ada yang sakit, sudah uzur dan tua atau sedang dalam keperluan yang harus segera ia tunaikan, sehingga berlama-lama berdiri dalam shalat itu tidak dapat mengantarkan ia kepada tujuan dan maqashid dari shalat itu sendiri, bahkan yang terjadi adalah fitnah. Itulah sebabnya Nabi melarangnya. Larang Nabi dengan alasan seperti yang tersebut di atas adalah aplikasi secara riil dari konsep maalaatul af’aal, sehingga apa yang dibolehkan berubah menjadi sebuah larangan karena ditakutkan akan mendatangkan kemudaratan dalam beragama.
Rasulullah shallallahu alahi wasallam bersabda dalam sebuah riwayat yang datang dari Ibnu Abbas beliau berkata:
Artinya: Janganlah kalian menyambut pedagang dan menawar barang mereka ketika baru sampai di pasar, dan jangan pula melakukan transaksi jual beli antara orang kota dan orang perdesaan. (HR. al-Bukhari)7
Dalam Hadis ini terdapat larangan untuk melangsungkan transaksi jual beli antara masyarakat kota yang notabene menguasai harga pasar dengan mereka yang berasal dari pinggiran perdesaan yang bisa saja mereka tidak mengerti dengan situasi dan seluk-beluk pasar. Landasan pelarangan yang ada pada Hadis ini adalah maalaatul af’aal, di mana dikhawatirkan akan terjadi penipuan harga sehingga hak-hak orang Badui tersebut terabaikan.
Inilah tiga dari sekian banyak dalil yang memperkuat eksistensi teori maalaat dalam mengistinbat sebuah hukum.
Ketiga, realitas dan fakta sejarah.
Realitas dan fakta sejarah dalam kehidupan Nabi sangat kaya dengan istinbat hukum yang didasari oleh prediksi apa yang akan terjadi (i`tibarul maalaat), yang atas dasar itulah Nabi menetapkan sebuah hukum bahkan mengubahnya kembali dengan kebijakan yang lain pada individu atau kesempatan yang berbeda. Hal ini dapat kita lihat pada masalah boleh atau tidaknya mencium istri di siang Ramadhan seperti yang sudah disinggung pada bab pendahuluan, di mana rasulullah Saw. melarang hal tersebut untuk dilakukan oleh seorang pemuda, padahal permasalahan yang sama ketika ditanyakan oleh seorang yang sudah tua, Nabi membolehkannya untuk dilakukan, dan kalau kita lihat hukum asal dari mencium istri di siang ramadhan memang dibolehkan berlandaskan kepada sebuah riwayat ketika Umar bin Khattab menanyakan hal tersebut kepada Nabi beliau hanya menjawab “تضمضتم ول تيأرأ,”8 (bagaimana menurutmu jika kamu berkumur-kumur apakah akan membatalkan puasa?). Artinya Nabi Muhammad Saw. menganalogikan perbuatan mencium dengan berkumur-kumur, apabila berkumur-kumur tersebut tidak dapat membatalkan puasa maka begitu juga dengan mencium istri yang hukumnya juga tidak akan membatalkan puasa. Namun perbuatan yang dibolehkan tersebut seandainya akan menggiring seseorang untuk melakukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa atau setidaknya dikhawatirkan akan sulit untuk mengendalikan syahwatnya, maka perbuatan tersebut menjadi terlarang, itulah sebabnya Nabi melarang untuk dilakukan oleh yang masih muda yang notabene dorongan syahwatnya kuat sementara hal yang sama dibolehkan bagi yang sudah tua dengan prediksi tidak akan terjadi apa yang dikhawatirkan terjadi pada yang masih muda. Namun di sini perlu diketahui bahwa hukum dalam persoalan ini tidaklah sepenuhnya ditentukan oleh umur muda atau tuanya, tapi ada pada kekhawatiran terjadinya sesuatu yang dapat membatalkan puasa sehingga dengan demikian orang yang sudah tua sekalipun jika dorongan syahwat masih kuat dan ia khawatir tidak sanggup menahan nafsu syahwatnya, maka baginya sama hukumnya dengan pemuda.
Riwayat di atas merupakan satu dari sekian banyak realitas sejarah dan fakta dalam kehidupan Nabi yang dengannya membuat kita merasa perlu untuk menghadirkan semangat tersebut dalam menjawab berbagai problem kehidupan.
1 Lihat: makna lughawi ini pada mu`jam Lisaanul `Arab pada bab لآ. lihat juga al-Qamus al-Muhith, karya Fairuz Abadi, vol. 3, h. 264.
2 Kamus al-Munawwir, A.W. Munawwir, h. 1064.
3 Lihat: I`tibaarul Maalaat, Dr. as-Sanusi, h. 125.
4 Al-Jami` Li ahkamil Quran, Al-Qurthuby, 4/175.
5 As-Sunan al-Kubra, An-Nasai, Kitabunnikah, vol. 3, h. 272, nomor: 5346.
6 Shoheh Al-Bukhari, kitab Al-Ahkaam, vol. 4, h. 332, nomor: 7159.
7 Shoheh al-Bukhari, Kitabul Buyu`, vol. 2, h. 104, nomor: 2158.
8 HR. Abu Daud, nomor: 2385 dan disahihkan oleh Syekh al-AlBany.