Tag: Ushul fiqh
PENGERTIAN ILMU USHUL FIQH
Di dalam literatur ushul fiqh ditemukan beberapa definisi yang berbeda secara redaksional dan juga substansial. Ada dua definisi yang masyhur di kalangan ulama mazhab:
Golongan Syafi’iyyah mendefinisikan ilmu ushul fiqh sebagai berikut:
“Mengetahui dalil-dalil fikih secara global, dan mengetahui bagaimana cara istifadah (memanfaatkan dan mengambil faedah) dari dalil tersebut, serta mengetahui siapa yang pantas untuk menggunakan dalil tersebut.”1
Dari definisi di atas dapat dipahami beberapa hal berikut ini:
Pertama, bahwa ushul fiqh itu berfungsi untuk mengetahui dalil-dalil fikih, bukan untuk mengetahui hukum yang merupakan wilayah fikih. Sebagaimana ushul fiqh juga tidak merambah wilayah dalil-dalil selain fikih, seperti dalil-dalil nahwu, dalil kalam, filsafat, dan lain sebagainya. Adapun kata “ijmalan” (secara global) menggambarkan bahwa ushul fiqh itu membicarakan dalil fikih secara umum dan global, bukan secara perinci sebagaimana halnya fikih yang memang berbicara tentang hukum masing-masing masalah dengan dalilnya secara terperinci. Dengan arti kata, ushul fiqh membahas dalil secara global yang bisa masuk ke dalamnya berbagai masalah terkait. Seperti dalam kaidah “hukum asal setiap perintah itu menunjukkan hukum wajib kecuali ada dalil lain yang memalingkannya kepada hukum yang lain.”2 Kaidah ini bersifat umum dan global tidak menyen tuh masalah fikih satu per satu. Begitu juga ketika dikatakan “bahwa qiyas itu dapat menjadi hujah secara syar’i.”3 Hal ini juga merupakan dalil secara global yang memberikan legitimasi penggunaan analogi dalam menyimpulkan hukum dalam berbagai masalah.
Kedua, ilmu ushul fiqh itu membahas dan mengajarkan bagaimana cara mengambil faedah dari dalil-dalil fikih tersebut, hal ini berkaitan erat dengan metode istinbat hukum. Sehingga harus diakui bahwa ulama ushul memiliki jasa besar dalam melahirkan rumusan untuk diikuti dalam memanfaatkan dalil untuk menghadirkan sebuah hukum. Seperti syarat dan ketentuan dalam istidlal yang ditetapkan, seperti mendahulukan makna hakiki dalam sebuah ungkapan dari pada makna majazi, mendahulukan dalil yang bersifat nash dari pada zahir, mendahulukan Hadis mutawatir daripada Hadis Ahad, dan lain sebagainya.4
Ketiga, ilmu ushul fiqh itu membahas permasalahan yang berkaitan keadaan mustafid (orang yang beristifadah) yang dalam hal ini maksudnya adalah mujtahid. Yang dibahas padanya adalah terkait dengan syarat mujtahid dalam berijtihad, wilayah hukum apa saja yang pantas untuk diijtihadkan. Masuk juga di dalamnya penjelasan tentang muqallid, sebab mujtahid beristifadah dari dalil-dalil fikih sedangkan muqallid beristifadah dari mujtahid dengan memanfaatkan hasil ijtihadnya dalam menjalani kehidupan. Pembahasan ini menjadi penting dalam ijtihad hukum agar istinbat itu tidak dilakukan kecuali oleh mereka-mereka yang bisa disebut sebagai mujtahid.
Dari deskripsi di atas, dapat dipahami bahwa ilmu ushul fiqh membahas tiga pembahasan utamanya yaitu membahas dalil hukum, membahas bagaimana cara memanfaatkan dalil dalam istinbat hukum serta siapa yang tepat untuk melakukan istinbat hukum tersebut.
Adapun ulama ushul dari kalangan Hanafiyah, Malikiah, dan Hanabilah memiliki definisi yang secara redaksional berbeda dengan yang sebelumnya. Mereka mendefinisikan ilmu ushul fiqh sebagai berikut:
“Mengetahui kaidah-kaidah yang pembahasannya dapat menyampaikan kepada istinbat hukum yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci.”5
Dari definisi di atas juga dapat dipahami beberapa hal berikut:
Pertama, bahwa ilmu ushul fiqh merupakan sebuah ilmu yang berbicara seputar kaidah-kaidah yang bersifat kulli (umum) yang melaluinya dapat diketahui berbagai hukum juz’i (parsial) yang masuk ke dalamnya baik secara qath’i maupun secara zhanny. Sebutan kata “al-Qawaid” di sini juga untuk memastikan bahwa ushul fiqh itu merupakan dalil-dalil bersifat umum, maka keluarlah sesuatu yang bersifat juz’i dan parsial, sebab hal tersebut tidaklah menjadi domainnya ushul fiqh sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Seperti beristidlal tentang haramnya riba dan halalnya jual beli dengan menggunakan ayat yang terdapat dalam surah al-Baqarah [2]: 2756
Kedua, kaidah-kaidah yang dimaksud dalam ushul fiqh haruslah kaidah yang dapat menyampaikan kepada hukum syar’i, jika tidak maka itu bukanlah kaidah yang dimaksud. Seperti kaidah-kaidah dalam ilmu engineering, matematika dan lain sebagainya, dengan arti kata bahwa kaidah yang dimaksud hanyalah kaidah umum yang dapat digunakan sebagai wasilah oleh para mujtahid dalam memahami hukum dan mengambilnya dari dalil-dalil yang ada.
Dari dua definisi terkait ilmu ushul fiqh di atas nampaknya definisi yang pertama yang datang dari kelompok Syafi’iyah lebih mencakup untuk menerjemahkan substansi dari ushul fiqh sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri, sebab di dalamnya tergambar secara jelas ruang lingkup dan cakupan dari apa yang dibahas dalam ilmu ushul fiqh tersebut. Sementara pada definisi yang kedua yang datang dari mayoritas ulama mazhab sepertinya hanya menekankan ilmu ushul fiqh pada satu pembahasan utama, yaitu kaidah-kaidah yang bersifat kulli atau umum untuk kemudian dimanfaatkan oleh para mujtahid dalam menganalisis dalil-dalil hukum, yang memang hal itu merupakan bagian terpenting dari ilmu ushul fiqh.
Footnote
1 Lihat: Muhamad Mushthafa al-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, h. 23. (al-Maktabah al-Syamilah al-Haditsah).
2 Lihat: Muhammad al-Hasan Deudeu al-Syinqithi, Syarh al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh, 2/20 (al-Maktabah al-Syamilah al-Haditsah)
3 Takhrijul Furu’ Ala al-Ushul, Ustman Muhammad Syusyan, 2/660.
4 Ushul al-Fiqh al-Islami, Wahbah, 1/24.
5 Al-Madkhal Ila Mazhab al-Imam Ahmad, h. 28.
16 Wahbah, Ushul al-fiqh al-Islamy, 1/24.